ETP | 20

255 41 0
                                    

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Jika sudah waktunya, mimpi yang semula terasa tidak mungkin pun bisa Allah realisasikan."

⏮️⏸️⏭️

TANGAN saya mendadak panas dingin, dengan debar jantung yang bertalu-talu tak tahu aturan. Menatap ke arah depan sudah banyak tamu yang hadir, dari mulai para awak media, sejumlah aktris dan aktor ternama, bahkan ada pula penikmat karya-karya saya.

Di sini, saya duduk dengan didampingi Mas Dipta selaku editor sekaligus pemilik ND Publisher. Sedangkan di pojok kanan, berdiri seorang perempuan yang bertugas untuk memandu jalannya acara. Belum apa-apa saya sudah dilanda kegugupan.

Acara dibuka dengan kalimat salam dan juga riuhnya tepuk tangan dari para tamu undangan. Sebisa mungkin saya terlihat tetap tenang, dan mengarahkan pandangan lurus ke depan. Jangan sampai saya mengacaukan acara penting ini, hanya karena rasa grogi yang menghinggapi.

"Saya Zanitha Daniza. Di sini saya akan sedikit membahas ihwal buku saya yang diterbitkan oleh ND Publisher dan tepat hari ini buku tersebut diluncurkan."

"Novel ini saya tulis dalam kurun waktu yang bisa dikatakan singkat, yakni sekitar satu bulan setengah dengan jumlah halaman kurang lebih 450-an."

Saya memamerkan buku yang tengah saya pegang pada khalayak ramai, menunjukkannya dengan senyum mengembang. Saya menjelaskan ada kisah apa di balik buku tersebut, membedah isinya untuk menarik rasa penasaran.

Sebatas spoiler singkat untuk membuat para tamu terpikat dan akhirnya memiliki keinginan untuk membeli buku tersebut. Sebisa mungkin saya memberitahu tanpa membongkar ujung kisahnya seperti apa.

Saya hanya membahas tentang para tokoh yang terlibat, tujuan tokoh, dan tentu saja rintangan yang dihadapi sang tokoh untuk menggapai tujuannya.

"Satu kalimat yang paling saya sukai dari buku ini ialah. Doa itu berkembang, dari yang semula terkesan memaksa penuh akan amarah, bahkan seolah menantang Allah, hingga akhirnya berada di titik benar-benar pasrah dan berserah."

"Saya tidak sebaik dan sesempurna tokoh yang saya ciptakan, tapi setidaknya ada kebaikan yang ingin saya sampaikan. Semoga berkenan dan bisa diamalkan. Sebab, sebaik-baik manusia adalah dia yang mampu menebar banyak kebermanfaatan."

"Terima kasih, semoga buku saya bisa menghibur hati yang sedang tidak baik-baik saja. Bangkit lebih kuat, dan tumbuhlah menjadi pribadi yang hebat dan taat," tukas saya mengakhiri.

Mas Dipta melirik sekilas ke arah saya lantas berkata, "Menebar kebaikan bisa melalui berbagai cara, salah satunya ialah lewat karya. Naskah yang bagus bukanlah yang banyak pembacanya, bukan pula yang viral di jejaring maya, melainkan naskah yang mampu dituntaskan hingga benar-benar selesai."

"Saat saya membaca tiga bab pertama dari naskah milik Zanitha, saya langsung jatuh cinta. Dari mulai narasi, dialog, dan penggunaan diksinya sangat berciri khas. Penggambaran para tokoh pun sangat jelas dan lugas. Konflik yang diangkat realite serta tidak bertele-tele, apalagi untuk endingnya. Dijamin bisa ketagihan dan dibaca secara berulang-ulang."

"Wah ..., wah ..., jadi curiga. Jangan-jangan bukan hanya jatuh cinta pada karyanya, tapi juga pada penulisnya," goda MC yang memandu jalannya acara.

Celotehan tersebut disambut riuh oleh para tamu undangan, bahkan suara siulan pun sempat saya dengar.

"Jatuh cinta itu hak semua orang, tidak ada yang melarang. Akan salah jika direaliasikan dengan cara pacaran, itu barulah haram, tidak dibenarkan. Bukan begitu, Zani?" ungkap Mas Dipta meminta pembelaan.

Epilog Tanpa Prolog Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang