بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Jika yang pasti sudah ada di depan mata, tak usah berpikir dua kali untuk menolaknya."
⏭️⏸️⏮️
PERTANYAAN paling umum yang kerapkali dilayangkan oleh orang tua dari pihak perempuan biasanya tak jauh-jauh dari kerja di mana, nominal penghasilan setiap bulan berapa, dan sudah memiliki modal apa sampai berani mengajak anaknya menikah.
Namun, pertanyaan yang Mama layangkan justru lain daripada yang lain. Saya pun cukup tercengang dengan apa yang saya dengar.
"Salat subuh Nak Dipta jam berapa?"
"Setelah azan berkumandang, Bu. Kadang setengah lima, jam lima, ya menyesuaikan waktu azan saja."
"Salat subuhnya di mana?"
"Jama'ah di masjid dekat rumah."
"Setiap hari?"
"Insyaallah selalu menyempatkan waktu untuk salat berjamaah di masjid."
"Sebelum memutuskan untuk saling bertukar CV apa Nak Dipta sudah istikharah terlebih dahulu?"
Dia mengangguk mantap. "Jauh sebelum itu, saya sudah melakukannya."
"Sudah ada jawabannya?"
Untuk kedua kalinya dia mengangguk mantap. "Sudah, Bu."
"Zanitha jawabannya?"
"Iya insyaallah, Bu."
Mama melirik ke arah saya yang sedari diam. "Kamu sudah istikharah, Tha?"
Saya pun mengangguk pelan.
"Nak Dipta, Putri Mama ini wanita akhir zaman yang masih sangat membutuhkan bimbingan. Jika memang sekiranya Nak Dipta berkeinginan untuk memperistri Zanitha, silakan. Tolong bimbing dia, ajari dia, tegur kalau memang ada banyak salah dan khilafnya."
Mas Dipta tersenyum tipis. "Insyaallah jika memang Zani berkenan untuk menerima saya. Namun, saya juga pria akhir zaman yang tidak bisa menjanjikan kebahagiaan ataupun kesejahteraan pada Putri Ibu. Sebab, saya tidak tahu ke depannya akan seperti apa. Tapi, saya akan berusaha semampu saya untuk melakukan yang terbaik."
Saya merasakan sebuah elusan lembut. "Tha, keputusannya tetap ada di kamu. Mau dilanjutkan silakan, diakhiri pun silakan."
"Jika saya meminta untuk berta'aruf terlebih dahulu bagaimana?"
Sekilas saya melihat dia tersenyum samar. "Boleh."
"Saya belum betul-betul mengenal Mas, begitupun sebaliknya. Saya tidak ingin membuat Mas menyesal kala nanti sudah melangsungkan pernikahan."
"Kenapa harus menyesal?"
"Saya tidak ingin Mas merasa tertipu dengan tampilan luar yang saya perlihatkan. Khawatirnya istilah ta'aruf seperti membeli kucing dalam karung menimpa Mas."
Dia manggut-manggut. "Saya tidak sedang jual beli, tidak ada istilah untung rugi, terlebih jika menyangkut ikrar suci."
"Ada banyak sekali kekurangan yang saya miliki, Mas jangan terlalu tinggi dalam berekspektasi."
"Saya pun sama, kurangnya banyak. Maka dari itu saya butuh sosok pendamping yang bisa menyempurnakan kekurangan tersebut."
"Saya kurang pandai memasak dan berbenah rumah. Sekadar bisa, tidak benar-benar mahir. Apa Mas berkenan jika memiliki istri seperti itu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Epilog Tanpa Prolog
SpiritualDISCLAIMER || NARASI & DIALOG BAKU Kisah yang tidak pernah DIMULAI, tapi harus berakhir dengan kata SELESAI. Terdengar cukup memiriskan, tapi itulah kenyataan. Garis takdir memang tidak bisa dikendalikan, hanya sekadar bisa direncanakan tanpa tahu...