بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Tidak ingin terlibat hubungan tak halal, tapi enggan memperjelas hubungan."
⏮️⏸️⏭️
MEMBACA dengan saksama file yang tadi Mas Dipta kirimkan. Sekadar ingin tahu, tidak bermaksud untuk sungguh-sungguh mengajak berta'aruf. Saya hanya penasaran, sebatas itu.
Isinya sungguh amat berbobot. Pantas jika banyak perempuan yang mengejar-ngejar, tapi anehnya dia justru melayangkan lamaran pada saya yang tak seberapa ini.
Sepertinya Mas Dipta perlu untuk memeriksakan mata, takutnya bermasalah.
"Tha."
Saya pun menoleh ke sumber suara, di ambang pintu Mama menyembulkan kepalanya. "Apa, Ma?"
"Mama mau tanya sesuatu, tapi kelihatannya kamu sibuk."
Saya menggeleng pelan. "Enggak, kok, Ma. Kenapa?" sahut saya seraya meng-close file dan mematikan laptopnya sesegera mungkin.
"Sudah sedekat itu hubungan kamu dengan Nak Dipta? Sampai dikenalkan pada orang tuanya segala."
Saya terkekeh pelan, berjalan menghampiri Mama yang tengah duduk di tepi ranjang. "Ibunya Mas Dipta sedang di rumah sakit, beliau kurang sehat. Nitha hanya menjenguknya."
"Kamu mengenal baik Ibunya Nak Dipta?"
Saya mengangguk singkat. "Lumayan."
"Kok bisa?"
"Ibunya Mas Dipta ternyata salah satu jamaah di kajian yang sering Nitha ikuti. Kami beberapa kali bertemu, pernah ngobrol juga, tapi Nitha nggak tahu kalau itu Ibunya Mas Dipta. Baru tahu tadi, saat dikenalkan langsung oleh Mas Dipta."
"Bisa kebetulan gitu yah, Tha."
"Takdir mungkin, Ma," jawab saya sekenanya.
"Wajah kamu kelihatan sumringah sepulangnya dari rumah sakit. Ada apa?"
Saya tertawa sembari geleng-geleng kepala. "Masa sih, Ma? Perasaan Mama saja kali."
"Mama serius, Tha. Jangan bercanda!"
Saya kian menggelegarkan tawa. Asumsi beliau ini memang selalu ada-ada saja.
"Oleng ke Nak Dipta kayaknya, sudah nggak galauin Nak Hamzah lagi?"
"Sejak kapan Nitha galau? Ngaco Mama!"
Beliau mendengkus kasar. "Enggak usah nyangkal, Mama tahu meksipun hanya kamu kasih spoiler doang."
Saya memutar bola mata malas sebagai respons.
"Maksud kedatangan Bu Anggi sama Hanin tiga hari lalu untuk apa? Kamu belum cerita apa-apa sama Mama."
"Hanya silaturahmi, Ma. Penasaran banget kayaknya," kata saya.
"Wajar kalau orang tua mau tahu urusan anaknya. Lagian, nggak biasanya Bu Anggi datang ke sini, apalagi sekarang Nak Hamzahnya lagi nggak ada," selanya.
"Ngobrol doang, Ma."
Saya tidak ingin memberitahu beliau ihwal apa saja yang Mama Anggi bicarakan. Bukan apa-apa, saya hanya takut membuat beliau kecewa. Terlebih kalau tahu Hamzah berniat untuk pulang.
Khawatirnya, kepulangan Hamzah tidak benar-benar terjadi, tapi Mama terlanjur tahu dan malah berharap lebih. Saya tahu sebesar apa harapan beliau pada lelaki itu, dan saya tak ingin menghancurkan asanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Epilog Tanpa Prolog
SpiritualDISCLAIMER || NARASI & DIALOG BAKU Kisah yang tidak pernah DIMULAI, tapi harus berakhir dengan kata SELESAI. Terdengar cukup memiriskan, tapi itulah kenyataan. Garis takdir memang tidak bisa dikendalikan, hanya sekadar bisa direncanakan tanpa tahu...