بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Tidak ada mimpi yang terlalu tinggi, semua akan tercapai jika Allah meridai."
⏮️⏸️▶️
KEGUGUPAN menyapa, terlebih ini adalah kali pertama saya bertemu dengan seseorang yang dikagumi banyak penulis, diidolakan, bahkan dipuja-puja, karena keberhasilannya yang ikut serta memajukan dunia literasi.
Mas Dipta itu diibaratkan seperti tokoh novel yang ada di dunia nyata. Tampan sudah jelas, mapan jangan ditanya lagi, bonusnya beriman. Mana masih muda dan belum memiliki pasangan. Masyaallah.
"Maaf sedikit terlambat, sudah menunggu lama?" katanya saat baru saja duduk berdampingan dengan Hamzah.
Saya hanya mengangguk singkat lantas menunduk dalam.
Hamzah langsung memperkenalkan saya pada Mas Dipta. Kami pun saling menangkupkan tangan di depan dada dan sedikit melempar senyum.
"Sebelumnya perkenalkan saya Naradipta Dharmawan, lebih akrab disapa Dipta. Jangan panggil bapak, karena saya masih muda," tuturnya diakhiri dengan kekehan.
Ternyata Mas Dipta cukup humoris juga, sedikit bisa mencairkan suasana yang terasa mencekam untuk saya.
"Saya Zanitha Daniza, Mas."
Mas Dipta membuka laptopnya lalu berkata, "Setahu saya Zani pernah menerbitkan satu judul buku secara mayor, dan dua sisanya self publishing, kan?"
Otak saya sedikit loading saat mendengar nama sapaan yang diberi Mas Dipta. Terdengar asing, sebab sejauh ini tidak ada yang memanggil saya dengan sebutan demikian. Zani.
"Betul, Mas tapi sekarang saya lebih aktif menulis di beberapa paltform," sahut saya.
Mas Dipta manggut-manggut. "Masih muda, tapi sangat produktif. Saya suka penulis muda yang memiliki semangat dalam berkarya."
Mendapat pujian seperti itu, membuat saya tersipu. Merasa tersanjung sekaligus tidak percaya, ternyata seramah dan sesantai ini perangainya.
"Sedikit banyak saya sudah tahu kamu. Hamzah sudah cerita banyak," katanya seraya melirik sekilas ke arah Hamzah yang sedari tadi menyimak.
"Tenang, nggak cerita aneh-aneh kok. Enggak usah melotot," cetus Hamzah begitu santai.
Saya hanya mampu meringis pelan.
Di luar dugaan, Mas Dipta justru tertawa kecil. "Hamzah ini cocok jadi sales. Cara dia mempromosikan karya kamu benar-benar mantap, sampai akhirnya saya tertarik untuk membahas naskah kamu lebih lanjut."
"A Hamzah memang sales berkedok fotografer, Mas."
Kemampuan Hamzah dalam mempromosikan sesuatu memang tidak bisa diragukan lagi. Dia itu sangat handal dan pintar melobi, wajar kalau banyak orang yang terpana kala dia menunjukkan keahliannya.
Mereka berdua tertawa lepas. Sedangkan saya sedikit tersenyum simpul.
"Bisa Zani jelaskan seperti apa sinopsis, premis, dan outline-nya? Naskahnya belum rampung, kan?"
Setiap kali kata Zani terlontar, rasa gugup seketika datang. Semacam ada sengatan listrik tak kasat mata.
Saya pun membuka laptop, mencari file presentasi yang sudah saya siapkan dari jauh-jauh hari, lantas menunjukkannya pada Mas Dipta.
"Saya kira kamu akan menyajikannya dalam bentuk word sederhana, ternyata berwujud salindia. Saya suka."
Mas Dipta terlihat sangat fokus menatap layar laptop. Saya merasa gugup seketika, takut dia mendadak berubah pikiran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Epilog Tanpa Prolog
SpiritualDISCLAIMER || NARASI & DIALOG BAKU Kisah yang tidak pernah DIMULAI, tapi harus berakhir dengan kata SELESAI. Terdengar cukup memiriskan, tapi itulah kenyataan. Garis takdir memang tidak bisa dikendalikan, hanya sekadar bisa direncanakan tanpa tahu...