بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Ibadah itu harus diprioritaskan, jangan hanya sekadar bertuhan di saat tengah dilanda kepahitan."
⏭️⏸️⏮️
MEMANDANGI Ka'bah dari arah dekat yang menjadi kiblat seluruh muslim dunia adalah impian hampir semua umat Rasulullah. Begitupun dengan saya, pemandangan yang masyaallah tidak bisa digambarkan dengan kata-kata.
Sangat indah luar biasa.
Pullman Zam-zam Makkah menjadi pilihan kami untuk beristirahat selama menjalani ibadah umrah. Salah satu hotel yang memiliki beberapa kamar dengan view Ka'bah yang bisa dinikmati dari ketinggian.
Tubuh saya menegang seketika, terlebih saat merasakan ada sepasang tangan yang melingkar apik di pinggang. Jangan lupakan juga, dagunya yang tertancap di bahu saya.
"Kenapa, Mas?" tanya saya dengan iseng menempelkan mug berisi teh manis hangat di atas punggung tangannya.
Cara halus semacam ini berhasil membuat dia menyingkir, dan membebaskan diri saya dari kungkungan.
"Jahil banget sih, Zani," keluhnya sembari menggelitiki pinggang saya.
Saya terkekeh kecil. "Ya, lagian Mas juga sih ngagetin saya, bukannya mandi dulu. Saya mau salat dhuha dan salat hajat di Masjidil Haram."
"Setelah itu mau ke mana?"
"Ke mana pun asal sama Mas."
Dia mengacak kepala saya yang tak tertutup hijab. "Sudah pintar gombal rupanya sekarang."
"Gombalin suami berpahala katanya," sahut saya diakhiri kekehan.
"Ya, sudah saya bersih-bersih dulu," ungkapnya lalu melesat pergi.
Sembari menunggu, saya menyiapkan pakaiannya terlebih dahulu. Mengambil tasbih untuk berdzikir seraya memandang keindahan Ka'bah.
Akan sangat bersyukur sekali kalau saya bisa selamanya tinggal di sini. Tidak hanya sekadar singgah lantas pergi, tapi saya harap suatu saat nanti Allah memberikan kesempatan lagi pada kami untuk singgah lebih lama seraya beribadah.
Ada sebuah tangan yang merangkul bahu saya, dengan tanpa sungkan saya pun menjatuhkan kepala di sana. "Ini adalah hari terakhir kita di sini," ungkap saya sendu.
"Insyaallah nanti kita ke sini lagi," sahutnya ditutup dengan kecupan singkat tepat di puncak kepala.
"Bisa diperpanjang tidak di sininya?"
Dia malah terkikik geli. "Kita sudah pesan tiket untuk ke Turki kalau kamu lupa. Katanya mau ke Masjid Hagia Sophia, hm?"
Saya mengangguk kecil.
"Sudah jangan bersedih seperti itu, katanya mau dhuha dan hajat dulu. Yuk, mumpung masih pagi, Masjidil Haram belum begitu penuh sesak."
Saya pun menurut. Setelah sama-sama mengambil wudu kami berjalan keluar kamar untuk menuju Masjidil Haram. Menunaikan delapan rakaat salat dhuha, lalu ditutup dengan empat rakaat salat hajat.
Ibadah di sana terasa sangat khidmat, terlebih pemandangan Ka'bah benar-benar berada di pelupuk mata. Rasanya kaki ini enggan untuk beranjak, justru ingin semakin berlama-lama.
Diambilnya salah satu tangan saya, lantas melantunkan dzikir. Sebuah kebiasaan Mas Dipta yang selalu membuat saya tenang dan damai kala bersamanya.
Bibir yang selalu bertutur hal-hal yang baik itu selalu basah oleh dzikir, dia benar-benar mampu mengamalkan apa yang dia ketahui.
KAMU SEDANG MEMBACA
Epilog Tanpa Prolog
SpiritualDISCLAIMER || NARASI & DIALOG BAKU Kisah yang tidak pernah DIMULAI, tapi harus berakhir dengan kata SELESAI. Terdengar cukup memiriskan, tapi itulah kenyataan. Garis takdir memang tidak bisa dikendalikan, hanya sekadar bisa direncanakan tanpa tahu...