بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Sulit untuk menerka dan membaca sikap serta perlakuan orang terhadap kita."
⏮️⏸️⏭️
MELIHAT gawai yang menampilkan gambar lengkap dengan keterangan yang mengatakan bahwasannya, dia sudah sampai di Jerman. Ada sedikit kelegaan, tapi juga kepiluan karena kini, dia sudah benar-benar berada jauh dari pandangan.
Tak ada sedikitpun keinginan untuk membalas, tahu kabarnya saja sudah lebih dari cukup. Lagi pula saya pun tidak ingin mengganggunya, saya tahu dia pasti membutuhkan waktu untuk beristirahat setelah menempuh perjalanan jauh.
Saya meletakkan gawai di atas meja, membuka laptop lantas menumpahkan apa yang tengah dirasa melalui untaian kata. Ide akan kian mengalir deras kala saya merasa sedang tidak baik-baik saja, lain hal saat saya sedang bahagia. Ide seperti enggan menghampiri.
"Tutup buku, buka lembaran baru. Itulah yang harus saya lakukan, nggak perlu lagi menengok ke belakang," gumam saya penuh keyakinan.
Perpisahan ini adalah jawaban dari semua doa yang senantiasa saya panjatkan. Saya percaya ini adalah yang terbaik, agar saya dan dia bisa lebih menjaga jarak. Sebab, mau bagaimanapun kita tidaklah halal untuk berdekatan.
Saya tersenyum tipis saat berhasil menulis sebuah prolog untuk naskah baru yang akan saya garap. Premis dan outline-nya akan segera saya susun. Saya akan lebih menyibukkan diri, agar pikiran dan hati saya tidak selalu tertuju padanya.
Saya harus bisa melupakan apa pun yang berhubungan dengan Hamzah. Mungkin memerlukan waktu, tapi cepat atau lambat saya pasti bisa melakukan hal tersebut.
"Makan dulu, Tha," titah Mama di balik pintu, hanya kepalanya saja yang menyembul.
"Ya."
Saya bergegas mematikan laptop, dan mengikuti langkahnya menuju ruang makan. Di sana sudah terhidang nasi dengan dilengkapi sejumlah lauk pauk.
Kami makan dalam keheningan, tidak ada sedikit pun obrolan. Setelah selesai, barulah beliau mulai buka suara.
"Sudah dapat kabar dari Nak Hamzah, Tha?" tanyanya.
Saya mengangguk singkat. "Sudah, A Hamzah sampai di Jerman kemarin pagi waktu setempat, tapi baru tadi ngabarin Nitha, Ma."
"Syukurlah, Mama lega mendengarnya."
Memilih untuk membereskan piring kotor dan memindahkannya ke bak cuci, lantas mencucinya seperti biasa.
"Nak Hamzah ada ngomong sesuatu sama kamu, Tha?"
Pertanyaan Mama berhasil menghentikan kegiatan saya.
"Maksud Mama?" tanya saya sembari menoleh singkat.
Beliau berjalan mendekat ke arah saya. "Ya, ngomong apa gitu, kan mau pisah lama."
"Enggak ada, hanya sebatas basa-basi. Tapi A Hamzah berpesan untuk rutin mengunjungi Mamanya, selain itu nggak ada," jawab saya seadanya.
Beliau manggut-manggut.
Saya pun memilih untuk melanjutkan kegiatan mencuci piring, hanya tinggal membilas dan meletakkannya di rak. Setelah itu saya harus bersiap untuk menemani Mama ke toko.
"Memangnya A Hamzah ada ngomong sesuatu sama Mama? Kok Nitha jadi curiga sama Mama," selidik saya saat mendapati beliau tengah melamun.
"Enggak ada, Mama malah penasaran sama yang terjadi di bandara," timpalnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Epilog Tanpa Prolog
SpiritualDISCLAIMER || NARASI & DIALOG BAKU Kisah yang tidak pernah DIMULAI, tapi harus berakhir dengan kata SELESAI. Terdengar cukup memiriskan, tapi itulah kenyataan. Garis takdir memang tidak bisa dikendalikan, hanya sekadar bisa direncanakan tanpa tahu...