بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Tetaplah menjaga hubungan baik pada sesama, karena hal itu membuat kita memiliki banyak saudara."
⏮️⏸️⏭️
IDAMAN kerapkali disandingkan dengan kata menantu, seolah ada standar khusus. Entah itu harus pintar memasak, piawai mengurus rumah, dan lain sebagainya.
Label menantu idaman terdengar cukup mengerikan bagi perempuan yang memang tidaklah apik dalam hal tersebut. Perempuan acapkali dituntut harus serba bisa dalam berbagai bidang, padahal kita pun manusia yang memiliki banyak keterbatasan.
Fokus pada karier dinilai tak becus dalam hal pekerjaan rumah. Memilih berdiam diri di rumah, dianggap sebagai beban suami. Serba salah jadinya.
Lantas harus seperti apa agar kita ini dipandang sebagai menantu idaman?
"Emang paling benar itu hidup melajang, Tha. Pernikahan manisnya hanya di awal doang."
"Jangan bicara seperti itu, apa yang kamu keluhkan bisa jadi itu yang diinginkan orang-orang."
Mama Anggi yang baru bergabung ikut menimpali. "Betul itu, kebiasaan banget kamu, Nin. Setiap pulang ke rumah pasti banyak ngeluh soal pernikahan. Namanya juga rumah tangga pasti ada saja masalahnya."
Hanin mendengkus kasar. "Iya tahu, tapi Hanin nggak nyangka akan seblunder ini masalahnya."
Beliau meneguk teh tawar hangat terlebih dahulu. "Mama nggak mau tahu dan nggak mau ikut campur terlalu jauh. Kamu sudah menikah, itu artinya kamu sudah dewasa dan bisa memecahkan masalah sendiri."
"Ish, kadang aku tuh suka heran. Kalau aku ngadu sama Mama pasti yang dibela Mas Suami, tapi kalau aku keceplosan ngadu sama Mertua, tetap saja anaknya yang dibela. Beda banget sama Mama yang terkesan mengagung-agungkan menantu," keluhnya dengan nada kesal.
"Haikal itu anaknya nggak neko-neko, hidupnya lempeng, beda sama kamu yang banyak ulah dan drama. Biang onar kamu tuh, Nin. Wajar kalau Mama ngomelin kamu," sahut Mama begitu santai.
"Kalau mau ketawa nggak usah ditahan-tahan, Tha!" sindir Hanin.
Saya menampilkan cengiran. "Maaf, Nin, nggak maksud apa-apa kok."
"Mama, kan selalu bilang sama kamu untuk belajar masak, belajar ngurus rumah, layani suami kamu dengan baik. Tapi, kamunya nggak nurut, sekarang kamu di-ospek langsung sama mertua kamu, ya harus terima lha. Itu namanya konsekuensi karena nggak patuh sama petuah orang tua."
Dia mencebik sebal. "Mending di-ospek senior, daripada di-ospek mertua. Salah dikit, bisa langsung diantar ke pengadilan agama."
"Lebay kamu, Nin! Punya mertua baik kayak gitu juga. Harusnya bersyukur karena ada yang ngajarin dan ngarahin gimana jadi istri dan juga menantu idaman."
Saya mengangguk setuju. "Betul itu, kamu harus lebih giat belajarnya, ditambah lagi rasa sabarnya, jangan lupa lapangkan hati juga, supaya nggak gampang emosian dan naik darah."
"Memenuhi ekspektasi idaman di negeri ini tuh susahnya minta ampun. Banyak syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi. Mending nggak usah dapet label idaman deh kalau kayak gitu caranya."
"Kamu tahu nggak sih, Nin, kalau kita ini sebagai perempuan bisa masuk surga lewat pintu mana saja. Asalkan kita patuh sama suami, rida dari suami itu yang utama. Harus berbakti dan mengabdi, apalagi kalau kita bisa menyenangkan hati suami dengan cara menyajikan makanan terbaik, melayani dan memenuhi semua kebutuhannya. Insyaallah kunci pintu surga ada dalam genggaman," tutur saya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Epilog Tanpa Prolog
SpiritualDISCLAIMER || NARASI & DIALOG BAKU Kisah yang tidak pernah DIMULAI, tapi harus berakhir dengan kata SELESAI. Terdengar cukup memiriskan, tapi itulah kenyataan. Garis takdir memang tidak bisa dikendalikan, hanya sekadar bisa direncanakan tanpa tahu...