Epilog

664 50 13
                                    

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Tidak ada kisah yang sempurna tanpa cela. Karena kesempurnaan hanya milik Allah."

⏮️⏸️⏭️

PERNAH keliru dan seolah paling tahu, bahkan dengan angkuhnya diri ini pun menaruh harap pada sesama makhluk. Menganggap diri sang pemegang kendali, padahal hanya sekadar hamba yang tidak tahu caranya berkaca diri.

Berlagak layaknya 'Tuhan' yang mampu merangkai kisah dengan begitu apik, tapi malah berujung sakit. Lupa diri, kalau saya hanya sebatas penulis yang diperkenankan untuk membuat jalan cerita manusia fiksi, tidak berlaku untuk diri sendiri.

Sebuah genggaman sedikit menyentak saya, tapi saat tahu dalang di baliknya, tarikan di bibir saya terangkat sempurna. Kami sejenak berpandangan, lalu jalan berdampingan.

"Selamat datang di acara Gala Premier Film Malam Tanpa Bintang yang diproduksi oleh ND Production, serta diangkat dari novel best seller berjudul serupa karya Zanitha Daniza."

Saya semakin mengeratkan genggaman seraya memandang Mas Dipta agar merasa lebih tenang. Elusan lembut di puncak kepala, berhasil menghilangkan kegugupan.

Kata sambutan diberikan Papa, selaku pemilik rumah produksi. Tak ketinggalan para pemain pun saling bergantian memperkenalkan diri, dan juga menceritakan peran mereka masing-masing.

Sampai akhirnya saya mendapat giliran untuk mengucapkan sepatah dua patah kata. Jantung saya kian berdetak tak keruan, beruntung ada Mas Dipta yang begitu sigap memberi ketenangan.

"Sebelumnya saya ingin mengucapkan terima kasih pada ND Publisher yang sudah menjadi rumah untuk buku saya, hingga akhirnya kisah yang saya tulis bisa diangkat ke layar lebar oleh pihak ND Production."

"Untuk suami saya tercinta, Mas Naradipta Dharmawan terima kasih. Karena kalau bukan atas campur tangan beliau, saya tidak mungkin berada di sini. Tak lupa, saya pun mengucapkan banyak-banyak terima kasih pada semua pihak yang telah terlibat."

"Selamat menyaksikan dan semoga film ini tidak hanya sekadar menjadi tontonan, melainkan juga bisa menjadi tuntunan."

Rangkulan hangat Mas Dipta berikan, bahkan dia pun berbisik pelan tepat di samping telinga saya, "Terima kasih juga istri tercinta, Zanitha Daniza. Karena sudah berkenan untuk menjadi rumah, tempat saya pulang."

Saya mencubit pinggangnya, tapi dia tak sedikit pun mengaduh kesakitan malah tersenyum jahil dengan alis yang dinaik-turunkan.

Setelahnya kami pun digiring untuk duduk di tempat yang telah disediakan, siap untuk menyaksikan film yang sebentar lagi akan diputar.

Mas Dipta menarik kepala saya agar bersandar di bahunya, sedangkan dia begitu asik memainkan jemari saya yang berada dalam genggamannya.

"Ada yang aneh dengan wajah saya?" seloroh saya saat menangkap basah dia tengah fokus menatap saya, bukan menatap layar bioskop.

"Lihatin istri juga, tidak boleh memangnya?"

Saya meraup wajah Mas Dipta lantas berkata, "Ingat, Mas. Jaga pandangan!"

"Zani sudah halal untuk Mas pandang, lebih dari itu pun tidak ada yang melarang," katanya santai.

Saya geleng-geleng dibuatnya. "Malu, lha, Mas. Ini, kan tempat umum."

"Ya sudah lanjut di rumah kalau gitu."

"Dasar Mas Naradipta Bucin Dharmawan!"

Bukannya tersinggung, dia malah tersenyum dengan begitu bangganya. "Nama yang bagus, Zani."

"Terserah, Mas!" sahut saya sekenanya.

"Zani," panggilnya setelah cukup lama saya acuhkan karena memilih fokus untuk menonton.

"Hm?"

"Mas cemburu."

Kening saya mengernyit. "Hah?"

"Kapan kisah kita Zani abadikan dalam bentuk buku?"

"Kapan-kapan yah, Mas."

Dia mendengkus pelan.

"Kita, kan sudah punya dua eksemplar buku, Mas. Itu limited edition lho, bukan best seller."

"Ish, bukan buku itu yang Mas maksud."

"Lalu?"

Tak ada sahutan, sepertinya dia merasa sebal. Padahal, saya hanya bergurau tapi entah kenapa akhir-akhir ini dia sangat sensitif dan mudah tersinggung.

Mood-nya lebih parah dari anak gadis yang sedang datang bulan.

Saya sedikit mengangkat kepala dan berbisik pelan, "Naskahnya sudah utuh, Mas. Giliran Mas yang ambil bagian untuk mengeditnya."

"Zani tidak sedang berbohong, kan?"

Saya menggeleng pelan. "Kalau kisah saya di masa lalu layaknya naskah pincang yang hanya memiliki penyelesaian. Epilog tanpa prolog."

Pandangan kami terkunci beberapa saat. "Mari kita tulis kisah yang utuh dan lengkap, dengan adanya sebuah prolog serta ditutup dengan sebuah epilog."

Senyumnya mengembang seketika, bahkan tanpa tahu malu dia memeluk saya. "Judul bukunya Dari Naskah Jadi Nikah."

Saya menggeplak tangannya. "Mas kira judul FTV apa?"

Tanpa dosa dia malah tertawa hingga kami menjadi pusat perhatian banyak orang.

Saya menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Sangat malu karena dihadiahi tatapan mengintimidasi dari orang-orang.

SELESAI

Padalarang, 31 Oktober 2023

Terima kasih karena sudah membersamai selama ± 3 bulan terakhir ini. Semoga ada kebaikan yang bisa diambil dari cerita ini. Kalaupun tidak, aku harap bisa memberi sedikit hiburan☺️

Mohon bantu like, komen, & share konten-konten yang aku posting di instagram yang berhubungan dengan event #gmgbranding2023

Jangan lupa juga untuk senantiasa meninggalkan jejak di lapak ini yah 👣🤗

Jazakallah khairan katsiran 🥰✨

Sampai jumpa di lapak baru 😉👇 ... Btw, ini kisahnya Hamzah setelah ditinggal nikah 🤭😂

 Btw, ini kisahnya Hamzah setelah ditinggal nikah 🤭😂

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Epilog Tanpa Prolog Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang