بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Kita memang mampu berencana, tapi tetap Allah-lah yang Maha Berkuasa atas segalanya."
⏮️⏸️⏭️
HIDUP memang tidak selalu memihak kita, terkadang berjalan di luar kendali kita yang hanya sebatas hamba, berusaha untuk selalu menerima apa pun yang diberi Sang Maha Kuasa.
Meskipun terasa sulit dan menyesakkan dada, tapi kita tidak bisa berbuat apa-apa.
Menentang ataupun menantang bukanlah perilaku yang dibenarkan. Namun, kita harus senantiasa berprasangka baik, bahwa Allah selalu memiliki rencana dan takdir terbaik menurut versi-Nya.
"Saya sengaja bangunkan rumah pohon di samping bangunan ini," katanya begitu tenang.
Seolah dia tidak merasa sedih akan perpisahan di antara kami. Ternyata hanya saya saja yang merasa berat hati dan tersakiti.
"Apa ini?" tanya saya saat dia menyerahkan sesuatu, bentuknya serupa dengan botol obat.
"Vitamin isinya 730 butir."
Saya membuka tutupnya. Cukup terperangah dengan isi di dalamnya yang benar-benar berisi ratusan kapsul berwarna merah.
"Untuk apa?"
"Di saat kamu merasa nggak baik-baik saja, kamu bisa buka satu kapsul. Selayaknya sebuah vitamin, saya harap kapsul itu juga bisa menyembuhkan berbagai rasa sakit."
"Boleh saya buka? Hanya satu," cetus saya.
Dia tertawa kecil seraya geleng-geleng kepala. "Boleh."
Saya pun mengambil satu kapsul dan membukanya dengan cukup tergesa-gesa. Mendapati secarik kertas kecil bertuliskan kalimat singkat, yang saya yakini hasil tulisan tangannya sendiri.
Dunia akan baik-baik saja, kala kita mampu berdamai dengan ketetapan-Nya.
"Langsung ditampar telak oleh kata-kata," dengkus saya.
Tanpa dosa dia malah tertawa puas.
"Mau semanis apa pun perpisahan, pasti akan menyakitkan. Enggak usah pakai cara-cara seperti ini untuk membuat saya tertipu dan mengabaikan kekecewaan."
"Kita tulis harapan kita masing-masing, lalu nanti kita buka saat saya pulang dari Jerman. Bagaimana?" tawarnya tak menanggapi sindiran saya.
"Enggak mau!"
"Kenapa?"
"Karena sebelum A Hamzah berangkat, saya yakin akan menggali kembali time kapsul itu dan membacanya seorang diri."
"Tingkat kesabaran kamu memang setipis tissue dibagi dua, Tha," cibirnya.
Saya berdecak pelan.
"Saya masih punya sesuatu untuk kamu, tunggu sebentar di sini," katanya lantas melesat menaiki rumah pohon.
Saya tak ingin ambil pusing, lebih memilih untuk duduk di ayunan yang sepertinya sengaja Hamzah buat di bawah rindangnya pohon besar.
"Ini apalagi A Hamzah?" seloroh saya sedikit menengadah saat dia sudah kembali dengan menenteng paper bag.
"Bukalah."
Saya pun menurut, dan alis saya terangkat satu kala mendapati banyak pita warna-warni di dalamnya. "Untuk apa? Saya rasa kuliah di Jerman nggak perlu ospek pakai pita segala."
KAMU SEDANG MEMBACA
Epilog Tanpa Prolog
EspiritualDISCLAIMER || NARASI & DIALOG BAKU Kisah yang tidak pernah DIMULAI, tapi harus berakhir dengan kata SELESAI. Terdengar cukup memiriskan, tapi itulah kenyataan. Garis takdir memang tidak bisa dikendalikan, hanya sekadar bisa direncanakan tanpa tahu...