بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Jika duduk di antara dua sujud masih terburu-buru, jangan terlalu bersemangat untuk segera duduk di depan penghulu. Malu."
⏮️⏸️⏭️
SEUMUR hidup itu lama, maka haruslah punya bekal untuk menjalaninya. Perkara memilih sepatu saja harus dipertimbangkan, agar tidak kebesaran ataupun kekecilan. Apalagi memilih suami yang kelak akan dijadikan sebagai imam.
Jelas harus dipikirkan dengan matang.
Menikah bukan hanya perihal menghalalkan, tapi janji suci yang melibatkan Tuhan. Di mana ada yang namanya hak serta kewajiban yang harus ditunaikan. Jangan sampai hanya karena bosan mendengar pertanyaan kapan nikah, membuat kita salah dalam mengambil keputusan.
"Ada yang ngelamar, Tha."
Sontak saya pun menarik tangan, menutupinya dengan tangan yang lain. "Bukan, Ma."
"Terus? Cincin itu?"
Saya tersenyum samar. "Ini cincin pemberian dari Mama, bukan cincin lamaran."
Beliau manggut-manggut. "Kirain, Mama shock banget ini."
"Kok gitu? Kenapa?"
Mama Anggi menggeleng pelan. "Enggak, bukan apa-apa."
Saya pun mengangguk singkat, tak ingin mengorek keterangan terlalu dalam. Takut membuat beliau kurang nyaman.
"Sudah tiga bulan Hamzah di Jerman, waktu berasa cepet banget padahal kayak baru kemarin Mama antar dia ke bandara," cetusnya tiba-tiba.
Bagi beliau mungkin cepat, tapi tidak bagi saya. Waktu sehari saja terasa sangat panjang, kala otak dan pikiran dipenuhi oleh bayang-bayangnya yang enggan menghilang.
Saya tahu ini tidaklah benar, sebuah tindakan yang bisa disebut sebagai zina pikiran. Saya berdosa karena sudah merindu terlalu dalam, padahal dia bukanlah mahram yang pantas untuk dirindukan.
Ternyata benar HTS itu menyiksa, lantas sekarang ditambah LDR pula. Ibarat kata, sudah jatuh tertimpa tangga juga.
Apakah di sana dia pun merasakan hal yang sama?
Jawabannya tentu saja tidak, karena buktinya dia jarang sekali mengabari.
"Diajak ngobrol malah bengong, kesambet nyaho kamu, Tha."
Saya pun mengerjap cepat, menoleh ke arah beliau lantas meringis pelan. "Maaf yah, Ma."
"Ngelamunin apa?"
"Bukan sesuatu yang penting."
Beliau mengangguk singkat lantas berucap, "Sekarang hubungan kamu sama Hamzah gimana, Tha?"
"Apanya yang gimana?"
"Enggak bukan apa-apa. Lupain saja."
Saya tidak ingin terlalu percaya diri, meskipun sering dibawa ke rumahnya, dikenalkan pada keluarga serta sanak saudaranya, status kami hanya teman. Tidak lebih, tidak kurang.
Saya cukup tahu diri dan sadar akan posisi.
"Nitha dan A Hamzah hanya berteman, saling berhubungan baik agar nggak memutuskan tali silaturahmi," ungkap saya karena beliau berkawan geming.
"Masa iya cuma teman? Mama nggak percaya. Kalian takut, kan kalau ngaku punya hubungan lebih, di-ulti Ayah."
Saya berusaha untuk sedikit tertawa. "Mana ada kayak gitu. Pacaran itu dosa, nggak boleh. Bukan takut kena ulti Ayah tapi takut kena ulti Allah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Epilog Tanpa Prolog
SpiritualDISCLAIMER || NARASI & DIALOG BAKU Kisah yang tidak pernah DIMULAI, tapi harus berakhir dengan kata SELESAI. Terdengar cukup memiriskan, tapi itulah kenyataan. Garis takdir memang tidak bisa dikendalikan, hanya sekadar bisa direncanakan tanpa tahu...