ETP | 32

210 39 10
                                    

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Sebatas bisa menerka, tapi tak tahu akhir kisahnya akan seperti apa."

⏭️⏸️⏮️

MENIKMATI angin sore dengan pemandangan langit yang sudah mulai menampakkan warna jingga. Sebentar lagi tugas mentari menyinari bumi akan digantikan oleh terangnya sinar rembulan.

Deburan ombak yang menyapu hingga bibir pantai membuat keindahan ini kian lengkap. Senja dan pantai memang dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Sangat klop!

Saya tersentak kala merasa ada seseorang yang berdiri berjarak di sisi saya. Spontan saya pun menoleh, dan terpaku kala melihat sosoknya.

"Pantas Ibu kamu kelimpungan mencari anak gadisnya, ternyata sedang asik menikmati senja seorang diri di sini."

"Ada yang bisa saya bantu, Mas?" tanya saya menghiraukan celotehannya.

"Kalau mau ke mana-mana izinlah dulu, jangan buat orang tua cemas. Sebentar lagi magrib, Zani. Tidak baik perempuan masih berada di luar."

Saya menunjukkan mukena traveling yang tengah saya tenteng. "Saya memang akan ke masjid, hanya sejenak mampir ke sini. Senjanya terlalu indah untuk dilewatkan."

Dia manggut-manggut. "Ada yang ingin saya sampaikan, apa ada waktu?"

"Silakan."

Langkah kami bergerak lambat, saling bersisian dengan jarak yang tidak terlalu dekat.

"Apa boleh jika saya bersilaturahmi ke rumah Zani?"

Refleks saya pun menoleh, dan beristighfar kala tak sengaja saling berpandangan. "Maaf, maksud Mas Dipta apa?" tanya saya setelah mampu menundukkan kepala.

"Boleh atau tidak?" ulangnya enggan menjawab pertanyaan saya.

"Hanya untuk bersilaturahmi?"

Sebuah anggukan dia berikan.

"Tidak ada kepentingan lain, kan?"

Untuk kali ini dia menggeleng singkat.

"Lantas untuk apa?"

"Menurut Zani jika ada seorang laki-laki yang menyambangi kediaman seorang perempuan untuk apa?"

"Mas Dipta tidak salah? Kenapa malah balik bertanya pada saya."

Dia menyampirkan sajadah di bahu, sejenak merapikan kopiah, lantas berkata, "Ingin menukar ini dengan seorang gadis."

Saya dibuat melongo dan kesulitan untuk menelan ludah saat melihat dia menunjukkan benda berbentuk lingkaran pada saya.

"Gadis mana yang Mas Dipta maksud?"

Dia kembali melajukan langkah, menoleh singkat ke arah saya lantas kembali menatap ke depan. "Gadis yang saat ini tengah berjalan berdampingan dengan saya."

Tubuh saya mendadak kaku. Keringat dingin terasa mulai bercucuran. Apa saya tidak salah dengar?

"Untuk kali ini, guyonan Mas Dipta tidaklah lucu!"

Dia terkekeh kecil. "Memangnya selawak itu saya di mata kamu? Sampai tidak bisa membedakan mana yang namanya bergurau dan bersungguh-sungguh?"

"Ma-ma-maksud saya bukan seperti itu."

"Lantas seperti apa?"

Saya diam membisu. Benar-benar kehabisan kosakata dan sulit untuk menjawab kalimat tanyanya.

Epilog Tanpa Prolog Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang