بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Sejatinya jawaban itu sudah terpampang nyata, tapi kadang kitanya saja yang kurang peka."
⏭️⏸️⏮️
MENGEDARKAN pandangan ke segala penjuru, berharap bisa menemukan sosoknya. Saya sudah seperti orang linglung yang celangak-celinguk serta berlarian tak jelas ke sana kemari. Seolah tengah melakoni drama-drama yang biasa beredar di televisi.
Saya semakin dilanda frustrasi kala tak kunjung mendapatinya. Memegang erat paper bag yang sudah saya siapkan untuk dia, tapi ternyata saya sudah telat. Kemungkinan besar pesawatnya sudah terbang membelah awan. Saya benar-benar terlambat.
Memilih untuk duduk sejenak, tapi mata dan pikiran saya berkeliaran dan tertuju pada Hamzah. Berharap ada keajaiban, setidaknya bisa sejenak bertemu untuk memberikan sesuatu yang bisa dijadikan sebagai tanda perpisahan.
"Zanitha?!"
Saya menoleh ke sumber suara dan mendapati sosok yang saya cari sedari tadi tengah menggeret sebuah koper. Senyumnya mengembang, tapi tak bisa dipungkiri ada semburat kesedihan di sana.
"Alhamdulillah A Hamzah belum flight," kata saya sangat amat bersyukur.
"Pesawatnya delay, Tha, molor jadi satu jam lagi."
Saya mengangguk singkat. "Untuk kamu," ungkap saya seraya menyerahkan paper bag.
Dia menerimanya lantas terkekeh saat mengobrak-abrik isinya. "Ini vitamin berdasarkan resep dokter atau meniru vitamin buatan saya, hm?"
Saya meringis kecil. "Vitamin yang sama, seperti yang kamu berikan pada saya. Jumlahnya pun 730 butir, diminum satu kali sehari. Saya harap sebelum kapsulnya habis, kamu sudah kembali pulang."
"Dibaca novelnya, saya sudah menunaikan keinginan kamu. Tumbler-nya juga dipakai, A Hamzah suka lupa minum kalau lagi fokus mengerjakan sesuatu. Saya hanya bisa memberikan itu."
Dia tertawa kecil sembari memperlihatkan tumbler-nya pada saya. "Harus banget pakai warna pink, Tha?"
Saya mencebik sebal. "Hanya ada warna itu yang tersisa, ya sudah saya beli saja. Daripada, tidak ada satu pun benda berfaedah yang bisa saya berikan."
"Terima kasih yah, Tha. Kamu sampai bela-belain ke bandara segala, padahal baru selesai acara," katanya terdengar tulus.
Untunglah jarak tempuh dari tempat acara ke bandara Husein Sastranegara tidak terlalu jauh. Jadi saya bisa dengan cepat menemuinya.
Penerbangan dari Bandung ke Berlin yang harusnya sudah flight dari beberapa menit lalu, terpaksa ditunda dahulu. Kejadian yang mungkin bagi sebagian orang menjengkelkan, tapi bagi saya merupakan sebuah keuntungan.
Saya mengangguk kecil. "Semoga penerbangannya lancar, selamat sampai tujuan. Jangan lupa kabari saya jika sudah sampai."
Dia hormat layaknya pada bendera merah putih. "Siap laksanakan!"
"Mama, Ayah, sama Hanin ke mana?"
"Mereka sudah pulang, kasihan kalau harus menunggu terlalu lama. Lagi pula saya bukan anak kecil yang akan pergi rekreasi sampai harus diantar sekeluarga."
Saya manggut-manggut paham.
"Tadi saya lihat acara grand launching sekaligus bedah buku kamu lewat streaming yang diadakan ND Publisher di akun instagram. Saya bangga melihat kamu sekarang, meskipun hanya sebatas virtual."
KAMU SEDANG MEMBACA
Epilog Tanpa Prolog
SpiritualDISCLAIMER || NARASI & DIALOG BAKU Kisah yang tidak pernah DIMULAI, tapi harus berakhir dengan kata SELESAI. Terdengar cukup memiriskan, tapi itulah kenyataan. Garis takdir memang tidak bisa dikendalikan, hanya sekadar bisa direncanakan tanpa tahu...