بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Mengkhawatirkan sesuatu yang belum tentu terjadi hanya akan membuat resah hati."
⏭️⏸️⏮️
KEGIATAN saya yang tengah melayani pembeli terhenti kala melihat kedatangan seseorang. Saya persilakan dia untuk duduk, lantas kembali fokus menghitung belanjaan pembeli.
"Ada yang lain?" tanya saya memastikan.
"Satu saja saya nggak dapat, Teh, apalagi yang lain."
"Hah? Maksudnya bagaimana?"
Remaja SMA itu malah cengengesan seraya menggaruk tengkuknya. "Salah sasaran saya, Tetehnya kurang peka!" katanya seraya menyerahkan selembar uang pecahan dua puluh ribu.
Saya tersenyum tipis. "Terima kasih, uangnya pas yah."
Dia mengangguk lantas melesat pergi.
"Maaf menunggu lama. Ada kepentingan apa sampai Mas Dipta datang kemari?" tanya saya setelah menyerahkan minuman dingin padanya.
Dia tersenyum dan mengatakan terima kasih. "Apa saya bisa bertemu dengan Ibu kamu, Zani?"
"Untuk apa?"
"Saya mau minta izin untuk membawa kamu. Apa kamu bersedia ikut dengan saya?"
"Ke mana?"
"Menemui Ibu saya."
Mata saya membulat sempurna. "Untuk apa, Mas?"
"Ada hal urgent yang nggak bisa saya jelaskan di sini. Tapi nanti kamu juga akan tahu kalau bersedia ikut dengan saya."
Saya melirik arloji. "Ini sudah sore, Mas, lagi pula saya harus membantu Mama menutup toko. Beliau sedang keluar, mencari teman nasi."
"Saya tahu, tapi ini darurat, Zani. Bisakah bantu saya untuk kali ini saja?"
Akhirnya saya pun mengangguk pasrah. "Tapi tunggu Mama dulu. Kalau beliau izinkan, saya ikut dengan, Mas."
Beberapa saat kemudian Mama datang seraya menjinjing keresek putih. "Lho ada tamu ternyata, sudah lama Nak Dipta?"
Mas Dipta berdiri dan menangkupkan tangan di depan dada, seraya tersenyum dengan begitu lebarnya lantas berkata, "Enggak, Bu, baru beberapa menit yang lalu."
Mama manggut-manggut. "Mama beli fried chicken untuk makan malam nanti. Enggak papa, kan, Tha?"
"Iya, Ma nggak papa."
"Maaf, Bu apa boleh saya izin membawa Zani sebentar?" selorohnya.
"Ke mana, Nak Dipta?"
"Menemui Ibu saya."
Sontak Mama langsung menatap ke arah saya. "Ada kepentingan apa memangnya, Nak Dipta?"
"Ibu saya ingin bertemu dengan Zani, hanya sebentar tidak akan lama."
"Kamu gimana, Tha?" Beliau malah mempertanyakan kesediaan saya.
"Nitha ikut Mama."
Mama mengangguk singkat. "Silakan, tapi jangan sampai pulang telat. Maksimal jam delapan malam sudah ada di rumah. Saya izinkan hanya untuk menemui Ibu Nak Dipta, jangan mampir ke mana-mana."
"Baik, Bu, terima kasih banyak."
Sebagai respons Mama pun tersenyum simpul.
Kami akhirnya berpamitan pada Mama, saya pergi menumpang di mobil Mas Dipta. Semula akan menaiki motor, tapi tidak jadi karena Mama khawatir jika saya harus mengintili mobil Mas Dipta.
KAMU SEDANG MEMBACA
Epilog Tanpa Prolog
SpiritualDISCLAIMER || NARASI & DIALOG BAKU Kisah yang tidak pernah DIMULAI, tapi harus berakhir dengan kata SELESAI. Terdengar cukup memiriskan, tapi itulah kenyataan. Garis takdir memang tidak bisa dikendalikan, hanya sekadar bisa direncanakan tanpa tahu...