بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Kecakapan kita dalam bertutur kata, jangan sampai dipergunakan untuk mendebat orang tua."
⏭️⏸️⏮️
MENIKAHLAH agar ada yang menafkahi. Menikahlah agar ada yang menemani. Menikahlah agar tidak hidup sendiri. Menikahlah agar bisa ke sana-kemari sesuka hati.
Pernikahan seolah dianggap suatu solusi, padahal realitas yang terjadi tidak demikian. Ekspektasi akan indah dan rukunnya rumah tangga memang menjadi impian semua keluarga, tapi pada praktiknya tidaklah mudah.
Hancurnya pernikahan bukan karena kurangnya cinta, melainkan karena kurangnya ilmu yang dimiliki oleh setiap insan.
"Lagi sibuk, Tha?" seloroh Mama di balik pintu kamar, hanya kepalanya saja yang menyembul masuk.
"Kenapa, Ma?"
Beliau masuk dan menarik kursi meja rias, lantas duduk di sisi saya yang saat ini tengah menatap layar laptop yang menyala di atas meja belajar.
"Kamu marah yah sama Mama?"
Gerakan jari saya yang tengah mengetik pun terhenti sesaat. "Memangnya Mama ada salah sama Nitha?"
Mama malah berkawan geming.
Saya pun memilih untuk mematikan laptop terlebih dahulu, membuka kacamata lantas meletakkannya secara asal.
"Nitha nggak marah sama Mama, tapi Nitha nggak suka sama cara Mama yang selalu melibatkan A Hamzah. Dia punya kesibukan, Mama nggak bisa seenaknya minta dia untuk jemput Nitha atau apa pun itu. Nitha bisa jaga diri, Ma."
"Mama khawatir sama kamu, Tha."
"Iya, Nitha tahu, tapi nggak harus minta A Hamzah untuk jemput, kan? Dia itu paling nggak bisa menolak permintaan Mama. Jangan sampai kelemahan itu malah Mama manfaatkan. Nitha nggak enak, Ma," terang saya.
Beliau kembali terdiam sejenak, pandangannya menatap lekat ke arah saya.
"Akhir-akhir ini kamu lebih banyak waktu di luar dengan mas-mas yang bahkan nggak Mama kenal. Janjian di kafe lha, pulang mepet magrib terus, tadi juga pergi ke studio pulang ba'da magrib malah. Besok-besok apalagi, Tha?"
"Kamu itu anak satu-satunya Mama, perempuan lagi. Sebelum kamu kenal mas-mas itu kamu nggak pernah kayak gini. Pria itu membawa pengaruh buruk untuk kamu!"
Saya menggeleng tegas. "Nitha, kan sudah jelaskan berulang kali sama Mama. Mas Dipta itu editor sekaligus owner ND Publisher yang akan menerbitkan buku Nitha. Pertemuan intens kita punya tujuan yang jelas, karena alasan pekerjaan. Lagi pula kalau ketemu pun selalu di tempat umum dan ramai."
"Pria zaman sekarang itu banyak akal, kamu jangan tertipu sama modusnya. Kamu jangan terlalu polos, Tha."
"Mas Dipta itu tipikal orang paham agama dan mampu mengamalkan ilmunya dalam kehidupan sehari-hari. Dia tahu cara menghormati perempuan, dia pandai menjaga pandangan, salatnya selalu tepat waktu dan tak pernah tertinggal."
"Kamu suka sama dia."
Itu bukanlah suatu pertanyaan, melainkan pernyataan sarkas yang begitu menyudutkan.
"Enggak ada hubungannya sama rasa suka, itu murni hanya hubungan kerja."
"Kenalkan dia sama sama Mama, kalau kamu memang menyukainya. Mama nggak mau kamu salah pilih!"
Saya menggeleng tegas. "Nitha punya cermin yang cukup besar untuk berkaca, tidak ada kelayakan dalam diri Nitha untuk bersanding dengannya. Harus berapa kali Nitha jelaskan sama Mama, kalau Mas Dipta bukan siapa-siapanya Nitha."
KAMU SEDANG MEMBACA
Epilog Tanpa Prolog
SpiritualDISCLAIMER || NARASI & DIALOG BAKU Kisah yang tidak pernah DIMULAI, tapi harus berakhir dengan kata SELESAI. Terdengar cukup memiriskan, tapi itulah kenyataan. Garis takdir memang tidak bisa dikendalikan, hanya sekadar bisa direncanakan tanpa tahu...