𝟟

4.1K 655 56
                                    

˗ˏˋ ᴀɴ ᴏᴄᴄᴀsɪᴏɴᴀʟʟʏ ᴛʀᴜᴇ ʀᴇᴛᴇʟʟɪɴɢ ᴍʏᴛʜ ᴏʀ ғᴏʀ sᴏᴍᴇ ᴘᴇʀʜᴀᴘs ᴀ ʟᴇɢᴇɴᴅˎˊ˗

˗ˏˋ ᴀɴ ᴏᴄᴄᴀsɪᴏɴᴀʟʟʏ ᴛʀᴜᴇ ʀᴇᴛᴇʟʟɪɴɢ ᴍʏᴛʜ ᴏʀ ғᴏʀ sᴏᴍᴇ ᴘᴇʀʜᴀᴘs ᴀ ʟᴇɢᴇɴᴅˎˊ˗

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Let Me Tell You A Secret!


Iphis menunggu kepulangan dua tuannya di pondok sembari membereskan sisa jamuan makan malam prajurit di situ. Ketika yang dinanti sudah sampai fasad, perhatiannya justru tertuju pada Brie yang kelihatan seperti orang linglung dengan alis menyatu. Oleh karena itu, Iphis bergegas menghampiri kawan barunya tersebut. Sementara dua tuannya yang saling berangkulan sudah mengorbit ke kamar tidur.

"Briseis?" panggil Iphis, membantu Brie untuk kembali sadar. "Apa terjadi sesuatu?"

Brie menggeleng lesu, "Ini ada titipan dari Hecamede untuk Achilles. Di mana aku harus meletakkannya?" Buntelan itu dijulurkan pada Iphis.

Tanpa perlu melihat dan hanya mencium semerbak yang menguar dari buntelan, Iphis sudah tahu isinya apa. Dia tersenyum seraya menyuruh Brie mengikutinya ke salah satu meja di sudut ruangan. Iphis mengambil sebuah wadah keramik yang teronggok dengan cekatan.

"Ah... Hecamede memang paling pengertian. Tadi aku baru saja mau titip pesan padamu untuk mengambil barang ini tapi malah kelupaan," terang Iphis sambil mengucurkan isian buntelan.

Brie masih tergugu. Pandangannya tertuju pada apa yang dilakukan Iphis, tetapi pikirannya jauh melayang. Tercecer dan berkelindan dengan apa yang disaksikannya pada sepanjang jalan pulang.

"Briseis!" tegur Iphis, tak lupa ia juga menyikut Brie. "Ada apa? Kau sakit kah? Kau kelihatan aneh dan agak pucat."

Brie yakin pucatnya bukan karena ia tak enak badan. Mungkin agak sedikit mual, tapi dijamin mualnya bukan karena ia sakit.

"Itu biasa terjadi, ya? Di sini?" lirih Brie. "Apakah selalu begitu... tiap malam?"

"Aku tak mengerti maksudmu," jawab Iphis selagi membuka bungkusan yang lebih kecil.

"Aku melihat..." Brie agak tergagap melanjutkannya, "Mereka memperkosa gadis-gadis di jalan. Prajurit yang mabuk. Aku melihat mereka ditelanjangi di sepanjang jalan. Aku mendengar tangisan dan erangan mereka."

Nadanya sedikit bergetar merunut memori mengerikan yang barusan ia alami dalam bingkai kata-kata. Entah bagaimana Brie merasa seperti dapat merasakan kepiluan yang mendera para gadis telanjang itu. Rasa bersalah bergemelut dalam batin karena ia tak bisa melakukan apa pun untuk mereka tadi. Brie benci dirinya yang gampang membatu di sini.

Iphis menjauhkan buntelan yang sedang dibauinya perlahan. "Gadis-gadis yang malang. Seharusnya tak keluar setelah jamuan malam."

"Bukankah harusnya kita melakukan sesuatu?" tutur Brie.

"Kita tak bisa membantu banyak. Terutama untuk hal yang satu itu, Briseis," tanggap Iphis. Ada kegetiran mendalam akan ucapannya. Sayangnya itu tak begitu kentara bagi Brie.

The Bride Who Never WasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang