𝟞𝟘

1.2K 241 155
                                    

─── ⋆⋅⚘⋅⋆ ───

please don't forget about them all #freepalestine #freesudan #freecongo they still need our prayer. please do boycott and donate if you can. your lil action always matter

─── ⋆⋅⚘⋅⋆ ───

˗ˏˋ ᴀɴ ᴏᴄᴄᴀsɪᴏɴᴀʟʟʏ ᴛʀᴜᴇ ʀᴇᴛᴇʟʟɪɴɢ ᴍʏᴛʜ ᴏʀ ғᴏʀ sᴏᴍᴇ ᴘᴇʀʜᴀᴘs ᴀ ʟᴇɢᴇɴᴅˎˊ˗

˗ˏˋ ᴀɴ ᴏᴄᴄᴀsɪᴏɴᴀʟʟʏ ᴛʀᴜᴇ ʀᴇᴛᴇʟʟɪɴɢ ᴍʏᴛʜ ᴏʀ ғᴏʀ sᴏᴍᴇ ᴘᴇʀʜᴀᴘs ᴀ ʟᴇɢᴇɴᴅˎˊ˗

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pertikaian Para Dewa-Dewi


"𝕯ia terdengar tidak begitu tertarik," beber Hera. "Meski sebenarnya buat apa juga tertarik pada hal yang jelas bukan merupakan sebuah pilihan. Ia tidak berhak memilih. Gadis ini akan tetap tinggal di sini. Sampai kami merasa sudah selesai berbincang dengannya."

Hades memutar bola matanya sebagai respon atas putusan sepihak tersebut. "Ini bukanlah keputusan mutlak yang kau ambil sendiri, Saudariku."

"Kau sadar bahwa tempatmu berpijak sekarang adalah teritorialku?" Hera menunjuk diri sendiri dengan jari lentiknya. "Kau tidak memiliki hak menentang wewenangku di gunung suci ini, Saudaraku."

Perdebatan mencuat diantara para Dewa dan Dewi tersebut. Zeus seolah mengambil porsi yang sama seperti Brie bahkan. Lebih banyak diam dan menonton. Berusaha netral diantara dua kubu yang berseberangan. Kernyit di balik ikal menjuntai itu terajut kian jelas. Layaknya tengah menakar mana satu putusan yang lebih bijak dari lainnya.

"Aku tidak mengira bertikai di hadapan mortal adalah tindakan bijak bagi penghuni gunung suci," celetuk sosok lain. Suara itu jernih bak percik air, seolah tiap pilihan katanya digunakan menghalau kabut. Gaungnya mengalun mulus, menghentikan sesaat pertikaian yang sempat mengalir.

Brie reflek menolehkan kepala, penasaran siapa yang muncul dari arah belakang.

"Gadis ini tidak seharusnya tinggal di gunung suci maupun kerajaan bawah... bebaskanlah dia... Sang Bijak Zeus." Daripada memohon, yang barusan terucap justru lebih mirip menuntut.

Seperti kawan lama yang tengah berusaha membujuk. Mengingatkan Zeus pada kali terakhir kala mereka berjumpa di depan pekarangan istana sakral ini.

Jika Brie tadi mengarahkan dongak kepala ke arah Hades, kini pandangannya bertumpu penuh pada sosok wanita di samping. Cukup lama menelusuri tiap jengkal sosok baru itu hingga leher Brie pegal. Harum lautan yang akrab menggelitik hidung. Meski nyaris sama dengan wangi garam mandi yang biasa Brie gunakan, ada sesuatu yang menguar dari kulit lembab sosok tersebut.

Sentuhan surgawi yang tidak dimiliki garam mandi buatan Hecamede. Sesuatu magis yang seiras dengan pancaran dari Dewa dan Dewi di hadapan Brie.

Gerai rambut bergelombang itu berhenti tepat di atas pinggul. Warnanya serupa pantulan kemilau dari mutiara terhitam yang terbenam di lautan. Sangat mencolok untuk diadu dengan kulit bersinar, yang seolah-olah selalu terlindungi cangkang kerang dari paparan mentari.

The Bride Who Never WasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang