part 45

110 14 28
                                    

(Rega Damasatya–Sekarang)

•••

Ada yang tidak Marwah ketahui soal Yuda. Lebih tepatnya tentang hubungan kami yang sebenarnya. Dia, Yuda, bukan sekadar teman untukku. Melainkan secara profesional pernah, atau mungkin masih, menangani "kesalahan" di dalam diriku yang sempat aku anggap selesai hanya dengan mengikhlaskan.

Aku pernah memberitahu Marwah jika aku orang yang sulit jatuh cinta, tapi bisa jatuh sejatuh jatuhnya saat jatuh cinta. Namun, aku lupa memberitahunya tentang luka dan trauma seperti apa yang aku alami akibat itu. Luka dan trauma yang tanpa sadar sudah membuat perasaanku terhadap dirinya berkembang menjadi sesuatu yang kurang sehat.

Membatasi kegiatannya, terutama ketika dia hamil dan melahirkan, menghubunginya hampir setiap jam saat berjauhan, ingin dilibatkan di segala kesulitannya, sekecil apa pun ... Ya, aku akui itu berlebihan, yang sialnya baru bisa aku terima setelah mendengar ucapannya kemarin, dan pada akhirnya mengerti kenapa Marwah merasa seolah olah diperlakukan seperti kaca.

Semua berawal dari pengalaman percintaanku yang kurang beruntung di masa lalu. Sejak saat itu, aku punya semacam ketakutan. Takut salah meletakan perasaan. Takut tidak diinginkan. Jadi ketika Marwah memberiku hal sebaliknya dengan berupaya begitu keras seakan akan aku adalah orang yang sangat layak diperjuangkan meski dia menikah bersamaku karena terpaksa, selalu berusaha membuka hati untukku meski kala itu hatinya masih ada di laki-laki lain, aku merasa berharga. Merasa diinginkan. Merasa menemukan tempat. Hal yang ternyata justru merubah respon atas ketakutanku alih-alih menghilangkan ketakutan itu.

"Dulu kamu memilih sikap apatis tentang cinta sebagai respon atas rasa takut tersebut. Sekarang kamu memilih mencurahkan semua perasaan kamu ke Marwah, mencoba menggenggam dia sepenuhnya, sebagai respon atas rasa takut yang sama---takut Marwah berpaling dan kembali membuat kamu merasa salah meletakan perasaan, takut ditinggalkan yang kemudian akan membuatmu lagi lagi merasa enggak diinginkan. Sayangnya, Marwah kurang bisa menerima hal itu. Alasannya bukan karena enggak suka. Tapi lebih ke enggak terbiasa. Sebelum sama kamu, Marwah itu seseorang yang boleh dikatakan memiliki pemikiran independent. Dia mampu melakukan banyak hal sendiri. Sering diandalkan. Sering mengupayakan banyak hal buat keluarganya. Sementara setelah sama kamu, hampir semua perannya kamu ambil alih. Bahkan peran untuk dirinya sendiri. Ibaratnya kayak diminta jadi penonton, Ga. Dia kehilangan indentitas. Di sini aku enggak mau berbicara sebagai psikolog, tapi teman dan sesama suami. Mulailah belajar merendahkan ego laki-lakimu. Suami enggak harus bisa jadi apa saja. Coba untuk menjadi enggak terlalu sempurna. Berikan celah pada diri kamu sendiri agar Marwah bisa melihat kekurangan kamu, dan lantas menerima kalau dia pun enggak harus sempurna untuk bisa pantas bersanding sama kamu." Begitu kata Yuda saat tadi aku melakukan konseling dengannya. Dan aku tidak bisa menampik karena ... Ya, itu memang benar adanya. Untuk urusan tidak menambah momongan pun aku tidak meminta dulu pendapatnya, berpikir bahwa memberikan keturunan adalah cara istri membahagiakan suami, lupa bahwa banyak perempuan di luar sana yang justru hanya ingin menjadi seorang ibu, dan barangkali Marwah merupakan salah satunya.

"Mas," panggil Marwah, memutus kemelut yang sedang berlangsung di kepalaku, mengembalikan angan pada jalan raya, setir kemudi dan perjalanan menuju rumah kami.

Aku menoleh sekilas ke arahnya. "Iya?"

"Ada yang mau kamu bagi ke aku?" tanyanya, membidik tepat sasaran. "Raga kamu di mobil. Tapi pikiran kamu mengawang enggak tahu ke mana."

Tersenyum kecil, aku berkata, "keliatan banget, ya?"

"Banget. Dan jangan bilang enggak ada apa-apa. Aku enggak bakal percaya."

Aku terkekeh. Meraih tangannya. Digenggam di pangkuan. "Em, apa ya?" Aku menggodanya. "Cintaku ... Mungkin." Sambungku, terkesan tak meyakinkan. Dalam artian bercanda. Namun, Marwah paham jika aku hanya sedang menjaga gengsi. Dia tak sedikit pun mengalihkan pandang. Tangannya bergerak membalas genggamanku, membaca resah yang tak mampu aku utarakan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 26 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Titik Tiga Muanaqah. (Sekuel BSP)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang