part 42

112 14 25
                                    

Halaw! Udah lama, ya, enggak bersua di lapak ini. Btw, apa kabar? Baik?

***

Rega Damasatya–Sekarang

"Mas sayang aku enggak?" tanya Marwah, lirih. Napasnya terdengar cepat. Matanya terpejam, wajah basah oleh keringat.

"Sayang," jawabku, parau. "Banget nget nget. Enggak bisa dihitung."

"Cinta?"

Aku mengangguk meski tahu dia tidak akan melihat. Dan saat itu, air mataku kembali meluruh melewati hidung dan telinga, jatuh ke bantal. "Cinta, dong. Banget."

Dahi Marwah mengernyit. Mulutnya meringis. Otomatis aku sedikit mengangkat kepala, berniat lekas menekan tombol emergency.

"Sakit, ya?" tanyaku, cemas.

Marwah menggeleng. Aku pun berhenti di sana. Perlu sekian menit untuk dia kembali berbicara, "Mas, maafin aku, ya," katanya, berbisik. "Maaf karena sering ...."

"Ssttt. Enggak enggak. Enggak ada yang perlu dimaafin." Selaku, menggeleng tak mau. Air mata lagi lagi tak bisa dibendung. Aku membenamkan wajahnya ke dada dan mengusap lembut punggungnya. Tenggorokan yang tercekat, tangis yang ingin menyeruak aku tahan sampai terasa sekali sakitnya di dada. Malam yang nyaris hening membuat atmosfer terasa lain. Antara terenyuh, khawatir dan bingung bercampur jadi satu. Melihat bagiamana istriku sebegitu tersiksa setelah sebelumnya harus berjuang di meja operasi untuk melahirkan anak kita, aku tak tega tapi juga tak berdaya.

Benar. Normal atau caesar, Ibu tetaplah Ibu. Tidak ada istilah kurang sempurna. Tidak ada istilah manja. Tidak ada istilah gampang. Sebab, semuanya sama-sama bertaruh nyawa.

"Mas?" panggilnya, pelan sekali.

Aku hanya mampu bergumam untuk menyahutinya. Takut dia sadar jika suaminya ini sedang cengeng.

"Selamat, ya." Imbuh Marwah, masih sepelan tadi. "Sekarang Mas udah tuntas hafal 30 juz. Yey." Dia bersorak untuk merayakanku bahkan ketika untuk sekadar membuka mata, dia tak ada tenaga.

Memejam, aku berusaha mengendalikan diri. Juga berusaha meredam tangis. Marwah tidak suka dikhawatirkan. Marwah tidak suka melihatku sedih karena dia.

Setelah dirasa cukup tenang, aku membuka mata dan sedikit menunduk, menatapnya yang masih menutup mata.

"Boleh minta hadiah?" kataku, lembut.

Mata Marwah terbuka perlahan. Nampak sayu dan lelah. "Apa?" tanyanya serupa bisikan.

Aku tersenyum. Senyum paling sulit yang pernah aku lakukan. "Dinner romantis."

***

"Tidur, ya?" tanya Ibu, pelan.

Aku menoleh. Mengangguk sembari tersenyum. "Mungkin sudah enakan, Bu."

Beliau mengangguk. "Kamu juga tidur, gih. Istirahat. Marwah itu baringin aja. Biar Ibu yang jaga."

"Enggak apa-apa, Bu." Tolakku, halus. "Biar saja Marwah begini."

"Kamu enggak pegel memangnya?" tanyanya, seolah meragukan jawabanku.

Lagi, aku tersenyum hanya agar Ibu percaya dan bisa beristirahat tanpa dibebani rasa rikuh. "Enggak."

Ibu tak langsung setuju. Ada iba yang terpancar dari mata beliau perihal ... Ya, mataku sembab. Penampilanku barangkali juga nampak menyedihkan.

"Ya sudah kalau gitu." Putus Ibu, mengalah. Lalu pamit ke ruang tidur.

Aku menekan remot guna menaikan bagian atas brankar. Lantas membenarkan posisi duduk secara perlahan agar Marwah yang sedang tertidur di pundakku tidak terusik.

Titik Tiga Muanaqah. (Sekuel BSP)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang