- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE PERHARI
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.* * *
Setibanya Zulkarnain dan Dandi di hadapan mereka, Risa pun langsung mengajak keduanya ke rumah Rumsiah. Dandi berjalan bersama Risa, sementara Zulkarnain berjalan lebih dulu bersama Meilani.
"Menurut kamu, apakah Mbah Tejo tidak akan melihat keberadaan kita lagi di sekitaran rumahnya?" tanya Dandi.
"Kalaupun dia melihat, ya biarkan saja dia melihat. Kita tidak bisa melarangnya untuk tidak melihat ke arah kita, karena dia punya mata yang tidak buta," jawab Risa, santai.
"Dan dia akan mengamuk lagi seperti kemarin."
"Biarkan saja, Mas Dandi. Mau dia mengamuk, jungkir balik, atau merayap di tanah sekalipun sebaiknya tidak usah kita pedulikan. Pada akhirnya kita tetap akan menginjakkan kaki ke rumahnya pada saat yang tepat."
Dandi terpaku selama beberapa saat ketika mendengar Risa mengulangi kalimat yang paling dia yakini, seperti yang terucap kemarin siang. Entah kenapa Dandi sama sekali tidak ingin menyanggah hal yang Risa yakini, padahal biasanya dia mudah sekali tidak percaya dengan keyakinan seseorang. Namun pada Risa, seakan Dandi tidak perlu merasa ragu dengan apa yang wanita itu yakini.
"Oh ya, bagaimana dengan keadaan di rumah Nyai Kenanga saat kamu dan Mei menginap semalam? Apakah semuanya baik-baik saja?" tanya Dandi.
"Alhamdulillah semuanya baik-baik saja, Mas. Kami berdua betah tinggal di rumah itu, karena rumah itu keadaannya memang sangat tenang. Mungkin karena Nyai Kenanga sendiri dulunya adalah orang yang tenang, sehingga aura rumahnya pun sama tenangnya dengan aura pemiliknya meski sudah dua puluh lima tahun tidak ditempati," jawab Risa.
Dandi pun menoleh ke arah Risa yang masih berjalan di sampingnya.
"Kamu tahu dari mana soal Nyai Kenanga yang memiliki aura tenang? Kamu 'kan belum pernah bertemu dengannya, Dek," pancing Dandi.
Risa pun berhenti mendadak di tempatnya, saat sadar bahwa ia telah salah bicara di hadapan Dandi. Dandi pun ikut berhenti dan menatap lekat ke arah mata Risa yang selalu ia rindukan sejak masih SMP. Mereka sama-sama terdiam selama beberapa saat di pinggir jalan Desa tersebut. Kahlil bisa melihat keberadaan kedua orang itu dari halaman rumahnya, sehingga kembali membangkitkan rasa cemburu yang bersarang di hatinya.
"Uhm ... itu, Mas. Maksudku ... aku hanya menduga-duga soal aura Nyai Kenanga semasa dia belum menghilang dari Desa ini," Risa mencoba memberikan alasan yang cukup masuk akal kepada Dandi.
Dandi masih menatap Risa dan pria itu tetap diam saja seperti tadi. Risa sadar bahwa Dandi mungkin tidak bisa mempercayai alasan yang dikatakannya barusan. Dandi jelas bukan orang yang mudah dibohongi dan juga bukan orang yang seharusnya ia bohongi. Dandi selalu bicara jujur dan apa adanya selama ini, terutama terhadap Risa. Maka dari itulah Risa mendadak merasa bersalah karena harus berbohong pada pria itu.
"Ayo ...."
"Aku bisa melihat hal yang tidak bisa dilihat manusia pada umumnya, Mas," ujar Risa, memutuskan untuk jujur pada Dandi.
Dandi pun kembali terdiam karena mendadak Risa membicarakan soal kelebihan yang dirahasiakannya selama ini. Ia segera menarik tangan Risa dan memintanya untuk berdiri lebih ke pinggir jalan. Dandi bahkan menoleh ke kanan dan kiri untuk memastikan bahwa tidak ada yang mendengar pengakuan Risa barusan.
"Jangan keras-keras bicaranya, Dek. Nanti ada yang dengar dan kamu malah dianggap gila," bisik Dandi.
Kahlil penasaran dengan apa yang sedang dilakukan oleh Dandi dan Risa saat itu. Ia berjalan menuju ke arah pagar rumahnya karena hendak menegur mereka agar tidak bertingkah terlalu intim di depan umum. Kasminah melihat hal itu dan ikut berjalan menuju ke arah pagar.
"Mas Dandi kok tidak kaget? Seharusnya Mas Dandi ...."
"Aku sudah tahu," jawab Dandi. "Aku mendengar pembicaraanmu dan Mei kemarin di tengah jalan Desa ini. Hanya saja aku pura-pura tidak dengar apa-apa agar kamu tidak menjauh dariku dan tidak merasa malu dengan kelebihan pada kedua matamu itu. Jadi sebaiknya sekarang jangan kita bicarakan soal itu di depan umum. Kita akan bicarakan nanti saja, setelah tidak ada orang di sekeliling kita kecuali Mei. Setuju?" bujuk Dandi.
"Hei! Kalian sedang apa? Jangan betingkah terlalu intim di depan umum, ya!" tegur Kahlil.
Zulkarnain yang sedang bicara dengan Romi bersama Meilani pun bisa mendengar teguran yang Kahlil layangkan pada Dandi dan Risa. Romi dan Zulkarnain pun segera berniat mendekat untuk menghentikan Kahlil, namun kedua-duannya dihalangi oleh Meilani dengan tatapan tajamnya. Kasminah tampak sangat malu ketika mendengar putranya menegur Risa dan Dandi, padahal mereka berdua adalah Polisi.
"Hah? Apa katamu? Jangan bertingkah terlalu intim?" ejek Risa, sambil tersenyum kejam ke arah Kahlil. "Wah ... tampaknya kamu sudah hafal betul ya, tentang gerak-gerik orang yang suka bertingkah terlalu intim di depan umum? Kenapa? Kamu sering melakukannya dengan perempuan murahan yang mengajakmu selingkuh waktu itu? Hm? Iya? Betul?"
Wajah Kahlil memucat saat menerima serangan dari Risa. Meilani pun mulai tertawa kejam sambil tetap menghalangi Zulkarnain dan Romi. Kedua pria itu bisa melihat kekejaman yang tergambar di wajah Meilani dan Risa pada saat bersamaan.
"Hati-hati kamu kalau bicara! Aku masih ingat betul bagaimana caranya kamu meraba-raba semua bagian tubuh perempuan itu di pinggir jalan belakang sekolah kita! Percayalah ... sejak itu aku selalu merasa jijik jika teringat bahwa aku pernah menggenggam tanganmu yang kamu pakai meraba-raba perempuan murahan seperti dia! Camkan itu baik-baik!" tegas Risa, tidak berusaha menyembunyikan kemarahannya sama sekali terhadap Kahlil.
Risa pun segera meraih tangan Dandi dan digenggamnya dengan erat. Ia kemudian menarik Dandi untuk ikut bersamanya ke rumah Rumsiah, menyusul Zulkarnain dan Meilani.
"HA-HA-HA-HA-HA! Bagaimana rasanya, Kahlil? Kamu malu sendiri 'kan akhirnya? Makanya jangan banyak tingkah!" tambah Meilani, ceplas-ceplos seperti biasanya.
Zulkarnain pun segera merangkul Meilani agar tidak lagi melihat ke arah Kahlil. Kahlil sendiri kini sedang diberi pelajaran oleh Kasminah, karena sudah berani menegur Risa padahal kenyataannya Kahlil justru pernah menjadi pelaku tindakan yang menjijikan. Romi menatap ke arah Risa saat wanita itu tiba di halaman rumah Neneknya.
"Itu yang tadi kamu beberkan serius pernah terjadi?" tanya Romi.
Risa menatap datar ke arah Romi.
"Kenapa? Kamu masih mau membela teman dekatmu itu? Silakan, Rom. Monggo. Aku enggak butuh dipercaya olehmu, bahkan oleh Zul sekalipun. Toh pada akhirnya, Allah sendiri yang menunjukkan pada semua mata yang pernah menatap jijik ke arahku setelah menerima fitnah dari Kahlil, kamu, dan Zul tentang siapa yang sebenarnya pantas untuk ditatap penuh rasa jijik," jawab Risa, tidak mau memusingkan lagi soal masa lalu.
Dandi dengan cepat menarik Risa dari hadapan Romi dan mendekapnya dengan lembut. Risa sama sekali tidak memberikan penolakan seperti yang sering ia lakukan pada pria lain sebelum-sebelumnya. Dandi sedang menenangkannya, dan ia memang membutuhkan ketenangan yang Dandi berikan.
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
TEROR MAWAR BERDARAH (SUDAH TERBIT)
Horror[COMPLETED] Pekerjaannya di Kantor Polisi belum benar-benar selesai, namun AKP Risa Arimbi harus mendapat pekerjaan tambahan akibat adanya teror yang menyerang Desa Banyumanik, Kota Semarang. Teror tersebut terjadi disertai adanya korban meninggal...