33 | Tak Sengaja Mendengar Pengakuan

2.3K 202 4
                                    

- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE PERHARI
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.

* * *

Mendengar jeritan Meilani yang memanggil nama Risa, Dandi pun segera berlari keluar dari kamar Risa dan langsung menuju ruang tamu. Ia mendapati kalau Risa sudah tidak sadarkan diri ketika tiba di sana.

"Dek? Kamu kenapa, Dek?"

Dandi jelas panik saat mendapati hal itu. Ia mencoba membantu menyadarkan Risa setelah meraihnya dari dekapan Meilani. Kedua pipi Risa ia tepuk-tepuk pelan agar Risa bisa memberikan respon, namun nyatanya Risa masih juga tak sadarkan diri. Asih dan Kumala ikut merasa kaget saat melihat Risa tergeletak lemas di pangkuan Dandi. Mereka jelas tidak bisa membiarkan hal itu terlalu lama.

"Bawa Risa ke kamarnya, Nak. Bawa dia, cepat," pinta Kumala.

"Iya, Mbah," tanggap Dandi, yang kemudian segera menggendong tubuh Risa.

Zulkarnain membuka lebar-lebar pintu kamar Risa agar Dandi bisa masuk sambil menggendong tanpa terhalang apa pun. Meilani segera berlari ke dapur untuk mengambil air panas dari termos. Ia menuang air panas itu ke dalam baskom, lalu segera membawanya ke kamar Risa.

"Sekarang, kalian berdua keluar. Biar kami bertiga yang mengurus Risa, termasuk membersihkan seluruh tubuhnya," saran Kumala.

"I--iya, Mbah Putri. Kami akan keluar dari sini," balas Dandi, meski perasaannya masih terasa sangat khawatir terhadap Risa.

Ia dan Zulkarnain keluar dari kamar itu, lalu menutup pintunya rapat-rapat. Panji tampak sedang ditenangkan oleh Yatno di ruang tengah rumah itu, karena Panji tampaknya merasa sangat marah setelah melihat bagaimana ekspresi Sutejo saat tengah ketakutan.

"Dia jelas ada sangkut paut dengan menghilangnya Kenanga, Mbah Yatno. Dia tidak akan berekspresi seperti itu jika tidak merasa bersalah dan takut dihantui oleh Kenanga," ujar Panji.

"Iya, Mbah Panji. Sampeyan jelas benar," tanggap Yatno. "Aku dan Istriku juga melihat sendiri bagaimana ekspresinya tadi. Tapi saat ini sebaiknya sampeyan tenang dulu. Kalau kita langsung menuduh begitu saja tanpa ada bukti apa-apa yang mengarah pada Mbah Tejo, maka nantinya Mbah Tejo justru bisa merasa dirinya sedang dituduh oleh kita. Dia akan memutar balikkan fakta. Lagi pula, pikirkan juga tentang keselamatan Nak Risa. Sampeyan lihat sendiri, dia sekarang masih belum sadarkan diri setelah menjalani perannya sebagai Nyai Kenanga demi untuk membuka topeng di wajahnya Mbah Tejo. Kalau sampai Mbah Tejo tahu bahwa yang tadi itu hanyalah rekaan yang diperankan oleh Risa, maka tidak menutup kemungkinan bahwa dia akan menargetkan Risa sebagai korban selanjutnya seperti yang terjadi pada Nyai Kenanga."

Panji langsung memikirkan apa yang Yatno utarakan saat itu. Yatno benar, keselamatan Risa akan terancam jika sampai Sutejo tahu bahwa yang tadi dilihatnya hanyalah rekaan semata. Ia tidak akan bisa melindungi Risa, sama seperti saat dirinya tidak bisa melindungi Nyai Kenanga di masa lalu. Sutejo jelas bisa berbuat nekat kapan saja, jika merasa kejahatannya akan segera terbongkar. Dan keselamatan Risa akan dipertaruhkan jika dirinya terus tidak bisa bersabar. Dandi akan merasakan kehilangan, sama seperti saat dirinya merasa kehilangan ketika Nyai Kenanga menghilang dari Desa Banyumanik. Ia tahu soal perasaan Dandi terhadap Risa. Ia bisa melihatnya, meski Dandi belum mengatakan apa-apa soal hal tersebut. Jadi sebelum ada sesuatu yang terjadi pada Risa, sebaiknya Panji segera menahan diri dan bersabar selama Dandi, Meilani, dan Risa sedang menyelidiki kasus tersebut.

"Ya, sampeyan benar Mbah Yatno. Keselamatan Risa harus lebih diutamakan daripada perasaan marah di dalam hatiku ini. Tidak boleh terjadi sesuatu pada Risa, agar tidak ada lagi tragedi lainnya setelah tragedi menghilangnya Kenanga secara mendadak dua puluh lima tahun lalu," putus Panji.

Dandi dan Zulkarnain bisa mendengarkan dengan jelas hal itu dari balik tembok. Mereka berdua sedang duduk di kursi yang tersedia pada meja makan. Zulkarnain pun menatap ke arah Dandi yang tampak masih tidak bisa tenang akibat Risa yang mendadak tidak sadarkan diri.

"Sebaiknya cepatlah ungkapkan perasaanmu pada Risa. Lakukan sesuatu. Jangan hanya terus menunda-nunda hanya karena kamu takut ditolak atau takut malu," saran Zulkarnain. "Pastikan bahwa dia akan tahu soal perasaanmu, agar dia tidak melewati batas kemampuan dirinya ketika berhadapan dengan hal-hal di luar nalar. Karena saat ini aku yakin, bahwa pingsannya Risa ada sangkut pautnya dengan energi negatif dari perasaan marahnya yang sudah melihat wujud paling terakhir dari Nyai Kenanga."

Sutejo benar-benar bersembunyi di balik selimut dalam kamarnya, setelah melihat wujud yang tidak lagi ingin dilihatnya. Ia sangat ketakutan setelah beberapa hari terakhir terus menerima teror melalui bunga mawar berdarah di lantai teras rumahnya, dan hari ini ia melihat langsung sosok Nyai Kenanga yang begitu mengerikan ketika menatapnya.

"Ta--tadi yang aku lihat pertama jelas-jelas dirinya yang seperti dulu selalu terlihat saat masih hidup, meski wajahnya agak lebih pucat. Ta--tapi ... tapi entah kenapa saat aku kembali lagi untuk memastikan yang aku lihat, dia mendadak sudah berubah wujud seperti pada saat meregang nyawa terakhir kalinya. A--aku takut. A--aku benar-benar takut melihatnya," ungkap Sutejo kepada Juminah.

Juminah pun seketika merasa kesal dengan ketakutan yang Sutejo alami saat itu. Ia benar-benar muak karena sudah sangat lama suaminya itu tidak bisa berhenti membicarakan soal Nyai Kenanga.

"Sudahlah, Pak! Dia 'kan sudah mati, sudah sampeyan bunuh dua puluh lima tahun lalu! Mana mungkin dia bisa muncul lagi dan mau membalas membunuh sampeyan? Jasadnya saja sudah sampeyan kubur dalam-dalam di tanah! Masa iya Nyai Kenanga mau bangkit lagi dari tanah tempat sampeyan menguburnya? Tidak masuk akal, Pak! Tidak masuk akal!" Juminah meluapkan amarahnya.

Sutejo masih juga menutupi dirinya dengan selimut dan tidak berani membuka selimut tersebut.

"Mungkin yang kamu lihat tadi adalah akibat dari seringnya kamu membahas soal Nyai Kenanga selama ini, Pak! Aku ini Istrimu! Seharusnya kamu pikirkan juga perasaanku dan jangan terus-menerus membahas soal Nyai Kenanga! Dia itu sudah menolakmu demi setia pada laki-laki lain! Harusnya kamu sadar, bahkan setelah kamu mengancam membunuh dia sekalipun, dia tetap saja tidak mau berhenti setia pada laki-laki pilihannya! Jadi sebaiknya kamu berhenti sekarang juga membicarakan Nyai Kenanga, atau aku akan meninggalkan kamu sendirian!" ancam Juminah.

Di luar rumah, tepatnya bagian samping--tanpa Sutejo dan Juminah tahu--Romi mendengarkan semua pembicaraan itu dari bagian bawah jendela kamar Sutejo. Pria itu menutup mulutnya yang hampir saja keceplosan berseru kaget, setelah mendengar dari mulut Juminah bahwa Sutejo adalah orang yang membunuh Nyai Kenanga dua puluh lima tahun lalu.

"Aku harus pergi dari sini! Aku tidak boleh ketahuan, atau aku juga akan dibunuh oleh Mbah Tejo!" batin Romi.

* * *

TEROR MAWAR BERDARAH (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang