34

3.6K 384 37
                                    

Haechan pergi beberapa hari setelah peristiwa yang dialaminya bersama dengan Mark, tanpa berpamitan atau sekedar mengucapkan semoga lekas sembuh pada Mark. Tapi dengan begitulah Haechan bisa menyembuhkan lukanya, meskipun sendiri tapi ia menyukai kehidupannya yang sekarang. 

Ya, lima tahun berlalu, Chenle bahkan sudah kuliah bersamanya sekarang di Swedia jurusan Tata Boga, katanya ingin meneruskan restoran milik Haechan. Chenle sudah memasuki tahun terakhir masa kuliahnya, penuh dengan praktek dan Haechan tidak memberikan batasan kapan anak itu akan pulang, tapi biasanya Chenle pulang larut karena bereksperimen di dapur restoran milik mereka sampai malam. Iya, Haechan membuat restoran kecil disini dan cukup ramai. 

Stockholm. Kota yang Haechan tinggali sekarang, tadinya ia ingin memilih kota lain tapi Chenle bilang akan kuliah menyusulnya di Swedia tadi Haechan memilih tempat yang dekat dengan universitas terbaik disana. 

"Papa, Papa aku punya ini." atensi Haechan teralihkan ketika seorang anak perempuandatang sambil membawa bunga berwarna kuning yang entah dipetiknya darimana, bunga kecil, mungkin anak itu mengambilnya disekitar ladang kecilnya. 

"Buat Papa?" kepala anak kecil itu mengangguk, 
"Wahh terimakasih," Haechan menarik tubuh anak kecil itu hingga duduk dipangkuannya, ia kini sedang berada di ladangnya, melihat para pekerja bayarannya merawat tanaman sayur yang ia tanam. 

"Papa, kata Kakak kita punya rumah di Indonesia," 

Namanya Francisca Aya Bimantara, anak kedua Haechan yang ia besarkan tanpa seorang Ayah. 
"Ada, rumah Papap sama Abba." Ten dan Johnny lumayan sering mengunjunginya, bisa sebulan sekali. 

"Ica mau kerumah Papap dan Abba." 
"Iya, nanti ya kita kesana sama kakak juga." anak yang lebih sering Haechan panggil Ica itu bertepuk tangan, 
"Asik! mau main kerumah Abba dan Papapp." 

"Tuan, bahan untuk makan siang sudah siap." seorang maid menghampiri mereka berdua, Haechan menurunkan Ica dari pangkuannya. 

"Yuk, katanya mau belajar masak?" Ica menganggukkan kepala dengan antusias,
"Mau masak! belajar dari Papa Chef!" Haechan menggandeng tangan Ica dan kembali ke rumah, Ica sudah memiliki kesukaan di dunia memasak, sepertinya Ica akan mengembangkan kemampuannya ini ke depannya. 

"Papa, Chenle tadi jailin adek tingkat Pa." suara Jisung membuat Haechan mengalihkan pandangannya dari mengkok berisi telur kocok. 
"Kok ngadu sih?!" dan itu Chenle. 

Jisung dan Chenle, kedua anak itu resmi bertunangan satu tahun lalu dan keduanya sama-sama melanjutkan pendidikan disini. Lebih ke Jisung yang tidak ingin jauh dari Chenle sih, makanya ia mengambil kampus yang sama dengan Chenle hanya jurusannya yang berbeda. Haechan tertawa melihat interaksi anak dan calon mantunya itu,

"Kak Lele nggak boleh nakal, kata Papa kalau nakal nanti dicubit sama Papa." Chenle berjalan menghampiri Ica dengan sajah congaknya,
"Kakak mah nggak bakal dicubit sama Papa, kan anak kesayangan Papa tuh kakak." ujarnya,
"Ih Ica yang anak kesayangan Papa! Kakak enggak, soalnya nakal! Pasti Papa lebih sayang Ica!" 

"Enggak tuh, Kakak yang kesayangannya Papa. Kamu loh anak pungut." 
"Enggak! kakak yang anak pungut!"

"Mana ada, orang kakak liat sendiri kamu dipungut dari rumah sakit." kini Chenle bahkan menjulurkan lidahnya untuk menggoda sang adik, sampai anak perempuan itu mewek dan menangis, 

"Kakak, udah dong jailnya. Astaga, Papa lagi masak, mau makan nggak kamu?" Chenle menunjukkan cengirannya, 
"Jisung lain kali kalo dia jailin adik tingkatnya sampe nangis kamu cubit atau marahin aja di depan orang-orang Papa ikhlas." 

"Tuh dengerin." Jisung menyenggol lengan Chenle, membuat tunangannya itu hanya mencebik lalu menghampiri Ica yang masih menangis.

"Udahan lo nangisnya, jelek. Mau beli es krim nggak?" 
"Kakak nakal!" Ica masih menangis sambil mengelap air matanya dengan lengan kecilnya,
"Nggak mau yaudah, kakak beli sendiri es krim punya Bi Elise." 

Not a Perfect Story (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang