BONUS CHAPTER

6.2K 370 50
                                    

Haechan tak pernah mengharapkan pemandangan ini kembali dalam hidupnya, pemandangan dimana ia melihat Ica yang kini sudah berumur 12 tahun dan Chenle yang sudah menginjak umur 29 tahun. Oh dan lihat, seorang pria seumurannya kini sedang mengajak Ica untuk bermain catur, dan pria itu tak lain adalah Mark. 

Ya, keputusannya adalah kembali bersama dengan Mark setelah selama empat tahun mereka memulai semuanya dari awal. Benar-benar dari awal, meskipun usia mereka sudah lebih dari 30-an tetapi tidak ada yang tahu bagaimana cinta itu berakhir kan? 

Kehidupan Haechan sudah kembali tenang, ia tinggal bersama dengan Mark dan Ica, Jisung dan Chenle tentu saja sudah memiliki kehidupan mereka sendiri bersama dengan anak mereka, cucu pertama Haechan dan Mark, namanya Sichen. Anak berumur 4 tahun itu kini sudah dekat dengan Ica, bermain bersama sambil membicarakan hal-hal random. 

"Sayang, udah waktunya makan siang ini." tanpa Haechan sadari Mark sudah berada dihadapannya, Haechan mendongakkan kepala dan tersenyum mendengar ucapan Mark. 

"Yuk makan dulu, mau bantuin aku nggak?" tanyanya, 

"Sure, princess." Mark menyodorkan tangannya kehadapan Haechan yang kemudian diraih oleh Haechan tanpa ragu, mereka berdua kemudian pergi menuju ke dapur, meninggalkan Ica yang kini sendirian di depan bidak catur memikirkan kenapa dia kalah oleh Mark. 

"Ihh pusing bangettt." Ica sampai mengerucutkan bibirnya, ia kemudian menatap ke arah pintu belakang rumah yang terbuka dan ia bisa melihat Papa dan Daddy-nya masuk ke dalam rumah, 

Ica sudah mengerti tentang apa yang terjadi kepada kedua orang tuanya, maksudnya, Haechan dan Jeno. Awalnya ia juga tidak mengerti kenapa kehidupan para orang tua ini begitu rumit, tapi jika dipikir cinta memang rumit, percintaan selevel orang tuanya ini tidak bisa dibandingkan dengan cerita cinta anak-anak SMP sepertinya, berbeda jauh. 

"Pengen ketemu Ayah, lama banget Ayah nggak kesini." Ica bergegas menuju ke rumah, ponselnya ada di kamar dan ia ingin menghubungi Ayah-nya agar kesini. 

"Adek, jangan lari-larian di dalem rumah." baru saja Mark bilang demikian sudah terdengar suara gedebuk yang lumayan keras, penyebabnya adalah karena Ica yang jatuh setelah terserimpet kakinya sendiri. 

"Baru juga Daddy bilang." Mark membasuh tangannya terlebih dahulu karena sehabis mencuci sayur sebelum menghampiri Ica yang sudah menahan tangis sambil memegangi lututnya. 

"Kan Daddy udah bilang berkali-kali, jangan lari di dalem rumah, bahaya. Banyak barang dirumah juga." Mark membantu Ica agar bisa duduk dikursi meja makan,  

"Iya Dad, maafin Ica.." ucap Ica dengan nada penuh penyesalan, dia hanya ingin pergi ke kamar dan mengambil ponselnya. 

"Coba cerita, kenapa lari-larian tadi?" tanya Mark, pria itu mengambil handuk kecil yang dibasahi air hangat dari kran wastafel untuk mengompres lutut Ica. 

"Ica mau ambil Hp Dad, mau telfon Ayah." Mark tersenyum mendengar jawaban dari Ica, 

"Hp kamu nggak akan kemana-mana adek, Ayah kamu juga nggak akan kemana-mana." Mark mnegusap kepala Ica dengan lembut, 

"Yaudah sana ambil Hp-nya dulu, jangan lari-larian ya." kepala Ica mengangguk pelan sebagai jawaban, kemudian anak itu pergi menuju ke kamarnya. 

"Oiya, Jeno kayaknya udah lama nggak kesini?" Mark kembali ke posisinya, melanjutkan acara mencuci sayuran. 

"Katanya lagi sibuk ngurusin launching produk baru sih." jawaban Haechan mendapat respon anggukan dari Mark. 

Hubungan mereka bertiga baik-baik saja, sama-sama sudah berdamai dengan masa lalu meskipun akhirnya berbeda, jika Mark dan Haechan kembali bersama, maka tidak dengan Jeno dan Jaemin. Jaemin tetap bersama dengan keluarga kecilnya, Jeno juga biasanya mengunjungi Arsen dan Joel bahkan mengajak mereka bertiga jalan-jalan saat liburan. Jaemin dengan satu cafe miliknya sudah cukup untuk menghidupi mereka, ditambah dengan uang dari Jeno untuk anak-anaknya. 

Tak lama kemudian terdengar suara bel rumah, Mark yang tugasnya lebih ringan menahan tangan Haechan yang hendak menyambut tamu. 

"Biar aku aja." ucap Mark sambil bergegas pergi menuju ke pintu untuk melihat siapa yang datang, ketika Mark membuka pintu ternyata yang datang adalah Jeno, buru-buru ia membuka gerbang pintu rumah karena satpam mereka masih mengambil cuti. 

"Baru juga diomongin, Ica nyariin tuh tadi." 

"Eh iya,  tadi nelfon juga pas lagi dijalan." Jeno masuk dengan membawa dua paper bag berisi oleh-oleh untuk Mark dan satu tas untuk anaknya. 

"Ayahhhh!" Ica berlari menghampiri Jeno yang baru saja menginjakkan kaki di rumah Mark, 

"Duh anak Ayah kayaknya ditinggal 2 minggu kangen banget nih." ucap Jeno sambil memeluk Ica, 

"Ica kangen Ayah tau." 

"Lho kan ada Daddy kamu?" Ica sontak menatap Mark yang menatapnya dengan satu alis terangkat, 

"Daddy galak," ucapan Ica mendapatkan tawa dari Jeno, 

"Ya soalnya kamu nakal, yaudah Daddy lanjut masak dulu." 

Setidaknya begitulah gambaran kehidupan mereka, Ica juga tak jarang meminta untuk menginap dirumah Jeno. Meskipun Ica memiliki dua Ayah tapi ia bukannya minder saat ada temannya yang mengejek soal statusnya itu, ia malah dengan bangganya membeberkan ketampanan dan kekayaan kedua Ayahnya. Kalau kata Ica 

'Enak lah punya dua Ayah, udah kaya, ganteng-ganteng lagi. Emang kamu, Ayah cuma satu wleee' 

Ica tidak pernah menyalahkan keadaannya, ia mensyukuri semuanya dan yang terpenting adalah Haechan bahagia, selama Papa-nya bahagia dia juga ikut bahagia karena ia tak pernah tahu apa saja yang Haechan alami selama membesarkannya sendirian di Swedia. 


Haechan sedang berdiri dipinggir balkon sambil menumpukan kedua lengannya di pagar balkon, 

"Sayang, ngapain disini? dingin loh." Mark datang sambil memeluk Haechan dari belakang, memberikan kecupan di pipi yang lebih muda. 

"Nggak papa kok, Ica jadi ikut Jeno?" Haechan mengulas senyum kemudian tangan kanannya mengusap punggung tangan Mark dengan lembut. 

"Jadi, baru balik." kepala Haechan mengangguk sambil tersenyum, ia kemudian menyandarkan tubuhnya ketubuh Mark. 

"Masuk yuk, nggak baik kamu kena aingin malem kelamaan." 

"Gendong." pinta Haechan pada Mark, tentu saja Mark menuruti permintaan suaminya itu, menggendong tubuhnya menuju ke dalam kamar dan menutup pintu balkon agar angin tak masuk ke dalam kamar. Mark menurunkan Haechan dengan hati-hati ke atas kasur lalu berbaring disampingnya untuk memeluk tubuh Haechan, 

"Aku belom ganti baju loh." ucap Mark ketika Haechan mengeratkan pelukannya dan mengusal ke dadanya, 

"Nggak usah, gini aja gapapa." Mark terkekeh mendengar jawaban Haechan, 

"Kamu udah tua gini masih aja gemes sih?" Mark mencubit pelan pipi Haechan, dan hal itu mendapat balasan berupa pukulan pelan dari telapak tangan Haechan ke lengan Mark. 

"Makasih ya sayang?" 

"Nggak usah drama lagi, males bahas itu." pasti. Jawaban Haechan langsung sama ketika Mark berkata demikian, karena tahu kemana arah pembicaraan itu nantinya. Terdengar tawa kecil lagi dari Mark, 

"Iya iya maaf." Mark mengecup kening Haechan cukup lama, lalu ia menepuk-nepuk pelan pantat Haechan, 

"I love you, Haechan." 
"I love you more, Mark." 


END





Not a Perfect Story (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang