19

915 61 6
                                    

Maapkeun saya yang telat upnya, kadang idenya mentok atau emang lagi sibuk ngurusin keperluan kuliah. Baisa maba🫠

***
Masih di waktu yang sama dan tempat yang sama yaitu di dalam mobil. Dipta mendekatkan wajahnya pada Sandra yang masih mengomel. Gadis itu menjauhkan diri sampai kepalanya terpentok ke kaca mobil.

Hembusan nafas berbau masa depan itu membuat Sandra gugup sendiri. Siapa tau kan Dipta masa depannya, walau agak mesum sih.

Saking gugupnya rasa takut yang sempat menjalar tadi hilang seketika seperti noda membandel. Sandra tak segan-segan menampol wajah tampan dengan pahatan nyaris sempurna itu.

"Sakit sayang," adu Dipta sebab matanya tak sengaja tercolok jari lentik milik Sandra.

Matanya memerah dan berair. Sandra mengambil langkah cepat menangkup pipi Dipta kemudian meniup-niup kelopak mata memerah itu. 

"Haduh maafin gue, lo sih malah dekat-dekat jadi matanya kan yang kena. Udah mendingan? Fiuhhh," omell gadis itu namun masih tetap meniup kelopak mata Dipta.

Tangan kanannya ia gunakan untuk menyugar rambut Dipta mengekspos jidat paripurna milik Dipta yang jika dilihat dengan tampilan begini terlihat sepuluh kali lipat lebih tampan dan dewasa.

"Masih?"

Dipta mengangguk padahal kebenarannya sakit pada matanya sudah tak terasa. Biarlah ia mencari kesempatan dalam kesempitan.

"Oke gue minta maaf, sekarang fokus aja nyetirnya. Gue mau pulang mau bobo syantik," titah Sandra melepaskan rambut Dipta.

Dipta yang sudah lelah berdebat memilih menuruti permintaan gadisnya. Suara gadisnya cukup membuat telinganya berdengung, tidak main-main sekali suaranya.

Tanpa disadari Sandra terlelap selama perjalanan menuju rumah sepupunya. Dipta memperbaiki cara tidur gadis itu agar lehernya tidak sakit saat terbangun nanti.

***

"Hoaam," Sandra terbangun pada pukul 15.45 WIB. Ia melihat ke sekitar, ternyata ia sudah berada di kamar miliknya yang ada di rumah sepupu ini.

Secarik kertas tertinggal di atas nakas, Sandra mengambil dan membacanya. Rupanya tulisan rapi dan indah itu milik Dipta.

Besok balik ke Jakarta jangan kabur lagi. Pelajaran kamu tertinggal banyak jangan bolos lagi, cukup satu hari ini. Besok balik ke rumah ya, aku janji gak akan kayak gitu lagi paling cuman meluk, hehehe

By calon suami

Sandra membaca surat itu terkekeh sebentar. Pasti Dipta kembali ke Jakarta mengingat ia sudah kelas 12 di mana waktunya tak akan banyak lagi di masa SMA ini. Apalagi ia adalah seorang pewaris jadi ia tak bisa semena-mena dengan waktu.

Sandra beranjak menuju ke meja belajar membuka buku diary milik Sandra asli. Ia membuka lembaran kosong yang masih tersisa banyak.

"Udah dua minggu aku di sini. Gimana kalau Sandra asli ngambil kembali aga ini, terus aku kemana? Surga apa neraka? Ya kali, siksa kubur aja belom. Haish, alur novel hanya untukmu juga berubah drastis sejak aku sahabatan sama protagonis dan antagonis," menolog Sandra menulis rangkaian kata penyemangat di buku diary itu.

Sekelebat memori asing memasuki pikirannya tanpa permisi. Rasa sakitnya tak bisa dijabarkan hingga cairan merah kental membasahi lembaran buku berwarna pink itu, Sandra dengan gemetar menyeka darah yang turun dari  hidungnya.

"Apa tadi? Keluarga harmonis? Aneh, bukankah keluarga Xavier di sini juga harmonis. Lalu keluarga siapa tadi? Wajah mereka tak jelas," Sandra mengacak rambutnya kesal.

Foto sebuah keluarga besar yang penuh senyum itu begitu tak asing tapi Sandra yakin itu bukan keluarga Xavier. Postur tubuh mereka sedikit mirip tapi itu bukan keluarga Xavier. Lalu siapakah mereka?

Sandra di kehidupan pertamanya hanya seorang anak yatim piatu yang tinggal di panti asuhan. Tak pernah sekalipun ia melupakan mimpinya yang mempunyai keluarga bahagia, mimpi besarnya sampai saat ini.

"Cassandra, aku harap kamu gak usah kembali aja. Aku gak mau kehilangan mereka yang aku sayang, di sini aku menemukan banyak kebahagiaan," Sandra meluapkan perasaannya lalau tertidur tanpa disadari.

Tukang tidur orangnya, maklum.

***

Sandra menghela napas setelah ia kembali tiba di mansion utama Xavier yang ada di Jakarta. Bersama Reygan pagi tadi, keduanya pulang bersamaan sebab harus sekolah. Keluarga yang lain masih berlibur di Surabaya.

"Rey lapar gak? Kakak mau masak, mau makan apa?"

Reygan terlihat memikirkan dengan serius.

"Terserah kakak, semua masakan kakak enak semua," ia berujar antusias.

Sandra mengacak gemas rambut ikal sang adik. Ah bagaimana ia bisa melepas dunia ini? Mereka hanya fiksi tapi terasa nyata untuk Sandra.

"Yaudah, Rey ganti baju dulu nanti kakak panggil," ia mendorong tubuh tinggi Reygan sebelum pemuda itu senpat menolak.

Sandra mencuci wajah dan tangannya kemudian berperang dengan alat-alat dapur. Ia tak merasa kelelahan sekalipun, menikmati aktifitasnya.

"Anda pergilah mengganti nona, biarkan kami yang menatanya di meja makan," seru kepala pelayan.

Sandra mengangguk lalu melepaskan apron dan pergi ke kamarnya. Setelah mandi dan berganti pakaian, Sansra lekas berdiri mengetuk pintu Reygan.

"Ayo makan dulu," ajaknya.

Siang itu, Reygan menghabiskan waktunya bersama kakak perempuannya tanpa gangguan dari abang-abangnya yang lain.

Setelah makan mereka berakhir di pendopo yang ada di halaman belakang. Reygan tidur dengan kepala dipangku oleh Sandra, tangan Sandra menari-nari di rambutnya. Elusan demi elusan terasa damai dengan sejuknya angin siang membuat Reygan cepat terlelap apalagi tepukann pelan ia rasa di lengan kekarnya.

Sandra tersenyum lalu menyandarkan tubuhnya ke sandaran sofa kecil di sana. Memgambil komik dan membacanya, terasa tenang.

Tak inginkah kau kembali?

Sandra tersentak dengan suara yang terngiang-ngiang di kepalanya. Ia berusaha tenang dengan melihat ke kanan kiri mencari asal suara. Tak ada sama sekali orang di sana selain dia dan adiknya.

"Kembali ke mana?" Tanyanya pada akhirnya.

Penasaran akan maksud dari pertanyaan itu. Jujur saja ia tak mau kembali ke masa kesepian itu, ia tak mau menjadi anak yatim piatu lagi. Hidup tanpa keluarga itu menyedihkan.

Mereka menyesal

"Siapa yang kau maksudkan?"

Tak ada lagi balasan yang ia dapat membuat Sandra mendesah frustasi. Siapa yang suara itu maksud? Mereka, orang tuanya? Tak mungkin! Orang tuanya sudah meninggalkannya di panti asuhan dengan teganya, kata kasarnya ia dibuang.

Mereka menyesal? Haha lucu sekali. Sandra menutup wajahnya dengan komik tersebut, menangis dalam diam. Jangan sampai Reygan melihat sisi menyedihkannya.

'Setelah kalian membuangku lalu dengan gampangnya kalian menyesal? Selama delapan belas tahun aku hidup dalam kesepian dan kegelapan lalu kalian menyesal dan berharap aku kembali. Jangan harap!' Batin Sandra mengepalkan tangannya.

Diam-diam Reygan mendengar suara tangisan yang terendam. Ia berusaha untuk tak membawa kakaknya ke pelukannya, biarlah kakaknya itu meluapkan segala emosinya. Hari ini Reygan akhirnya tahu bahwa kakaknya itu begitu rapuh dan berusaha mempertahankan senyuman palsunya.

***

Nungguin ya?

Cassandra! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang