24

820 48 2
                                    

Sandra menyusuri jalan malam yang sudah terasa sepi. Dengan tangan kosong ia keluar dari rumah penuh duka itu, sejak tadi siang ia tak pernah pulang. Memangnya mereka akan peduli? Tidak. Kanaya sudah menutupi pandangan mata mereka terhadapnya.

Sejak kedatangan Kanaya setahun lalu, pengabaian yang Sandra terima berubah menjadi perlakuan kasar. Entah apa yang ia lakukan tapi semua keluarganya mengabaikan dirinya semenjak bayi hanya sang kakek Dante yang mengurusnya. Seorang ibu yang harusnya memberikan ASI malah dialihkan ke pelayan.

"Sandra," Sandra tak menoleh.

Orang itu tetap memanggil Sandra sambil mengikutinya dari belakangm Nihil, Sandra tak menoleh sama sekali. Ia tengah bersedih malah orang itu datang.

Orang itu mendesis lalu tanpa banyak kata menggendong Sandra masuk ke mobilnya. Sandra diam saja tak memberontak. Ia didudukan dengan pelan sesekali kepalanya dipegang agar tak membentur bagian atas mobil.

Mobil mulai berjalan dan keadaan masih sama. Tak ada perbincangan, orang itu menatap ke samping. Yang ia tangkap adalah pandangan kosong, wajah yang pucat pasih.

Setengah jam mereka menempuh perjalanan. Mobil itu memasuki sebuah kawasan rumah megah yang begitu asri, di sambut oleh beberapa satpam yang bertugas.

Dia turun kemudian membukakan pintu untuk Sandra. Juga mengambil kesempatan dengan menggendong Sandra, Sandra tak menolak. Ia juga lelah berjalan sedari tadi siang.

Ia didudukan di kursi pantri. Orang itu menyiapkan makanan untuk Sandra, ini bukan yang pertama kalinya Sandra ke sini. Ia sudah sering datang dengan berbagai cara, diancam, diculik, dan dibuat pingsan, atau datang sendiri ketika ia malas di rumah.

"Makan," perintah orang itu tak mau dibantah.

Sandra menikmati setiap suapan yang masuk ke dalam mulutnya. Rasa yang begitu ia rindukan selama seminggu, dalam kesedihannya ia tersenyum lebar dengan mata yang berembun.

"Kenapa, sayang?" Tanya orang itu.

"Kangen sama makanan kamu," jawab Sandra jujur.

"Kalau tau kamu sudah bergantung padaku seperti ini sudah sedari dulu aku pergi keluar negeri biar kau selalu menanyakan kabarku," balasan orang itu membuat Sandra tertawa pelan.

Seusai makan. Sandra diantarkan ke kamarnya yang disiapkan khusus di rumah ini, ia berganti lalu membuka sebuah buku bersampul hijau dengan aksen perak di atasnya. Membaca setiap kata yang ada di sana kemudian menitikan air mata.

"Kenapa? Apakah mereka masih sama seperti sebelumnya?"

Baru saja ia mendekap mulutnya agar tak meraung keras. Hatinya bukanlah es juga bukanlah batu, hatinya terlalu lemah dan sekarang ia berada di fase paling lemah selama hidupnya. Tak ia sangka pilihannya ini cukup menyakitkan.

"Kak Dipta...," lirih gadis itu membalas pelukan yang pria itu berikan.

Usapan pelan di punggungnya begitu menenangkan. Selama ini di saat sedihnya hanya ada Dipta, kakeknya, dan Reygan. Yang lain bagai angin di matanya sekarang.

"Kak, aku capek," lirih Sandra.

Dipta memberi kata penenang untuk Sandra yang membuat gadis itu cepat terlelap dalam mimpinya. Setelah menidurkan Sandra ke kasur, Dipta duduk membaca serangkaian tulisan di buku hijau tadi.

Impian gadis itu semua tertulis dengan rapi, ada bekas air mata di setiap lembarnya. Sesakit itukah gadisnya? Ingin sekali Dipta bermain dengan mereka menggunakan kekuasaannya. Apalagi yang Tuhan coba berikan pada Sandra.

"Kau hebat sayang," Dipta memberikan kecupan ringan di pucuk kepala Sandra.

****

Dipta sudah pergi ke kantor dan tersisa Sandra. Ia meminta izin untuk berjalan-jalan sebentar keluar menghirup udara segar.

Bruk

Sandra tak sengaja menabrak seseorang, ia ingin membantu perempuan itu tapi tangannya ditepis kasar oleh orang lain yang berada di samping perempuan itu.

"Sudah cukup Cassandra! Mau sampai kapan kamu seperti ini?!" Bentak Arka pada adiknya, adik sedarahnya.

"Aku tak sengaja abang," masiih ada sebersit kepedulian Sandra pada kakaknya ini.

"Biadap! Kau kira aku bodoh!" Maki Arka.

Sandra termangu, emang boleh sebiadap ini?!

"Saya minta maaf atas tindakan saya," Sandra mengubah cara bicaranya dengan mata mengembun.

'Sampai kapanpun aku hanya orang asing dalam hidup abang Arka, aku hanya figuran,' batin Sandra berusaha menahan tangisnya.

Sandra segera berlalu tak mau terlibat lebih jauh dengan Arka dan Kanaya. Setelah kepergian Sandra, Arka sedikit merasa bersalah karena sudah berkata kasar lain hal lagi dengan Kanaya yang tersenyum penuh kemenangan.

Beralih pada Sandra yang akhirnya sudah sampai di cafe milik Suki. Kali ini ia tak bekerja sebagai pelayan lagi tapi sebagai pengunjung, Dipta sudah melarangnya untuk bekerja. Sandra terlibat pembicaraan dengan teman-temannya di cafe ini. Sampai waktu hampir sore dan ia harus ada di rumah sebelum Dipta kembali.

Gadis itu sedikit terganggu dengan tatapan Kayra padanya, ia memberi senyuman tapi dibalas dengusan kasar.

Sandra berdiri menatap jalanan, menengok kanan kiri menghiraukan panggilan adik kesayangannya. Sampai kakinya terpaku menunggu kendaraan yang siap menembus tubuhnya, begitu pikirnya.

Tubuh itu terkapar tak berdaya dengan air mata berlinang dan senyum yang terbit.

Raungan keras Reygan tak dipedulikan oleh Kayra yang berusaha menahan agar kekasihnya tak mendekat, ia cemburu pada Sandra tanpa tahu ada ikatan persaudaraan di antara keduanya.

"Lepas Kayra!" Bentak Reygan tak tahan.

"Rey! Pacar kamu itu aku!" Kayra balas membentak.

"Kak Sandra sekarat, Kayra!"

Reygan menyentak tangan Kayra kasar lalu menyusul ambulans yang sudah membawa pergi tubuh sekarat penuh darah Sandra. Reygan menyesal membiarkan kakaknya pergi dengan cara seperti ini.

Sandra ditangani dokter dan Reygan terduduk lemas menunggu kabar yang akan menimpanya, Dipta sudah ia kabari. Kemudian hanya Dante saja yang ia beritahukan mengenai hal yang menimpa kakaknya, biarlah keluarganya yang lain tak perlu tahu. Mereka tak penting.

Dua jam berlalu, tiga lelaki beda usia menanti ucapan selanjutnya dokter yang menangani Sandra. Bagai disayat-sayat mendengar kondisi Sandra sekarang.

"Pasien dinyatakan koma tanpa waktu yang pasti, saya harap anda semua sebagai keluarga selalu mendukung pasien."

Reygan dan Dipta menggila mendengar kabar itu, lain lagi dengan Dante yang mengusap air mata yang terus menetes. Cucu perempuan tunggalnya sedang berperang dengan alam bawah sadarnya. Ini karena ia lalai dalam menjaga permatanya, Dante menyesal membiarkan cucu perempuan yang keras kepala itu tinggal bersama keluarga besar Xavier, mereka begitu memuakan di mata Dante. Dante berjanjk akan menjauhkan Sandra dari mereka, sudah cukup kesayangannya tersakiti selama dua puluh empat tahun lamanya.

Bukan waktu yang sebentar, luka dihatinya sudah melebar dan mungkin tak bisa diobati lagi. Entahlah, manusia bisa apa? Hanya Tuhan yang mampu membuka tabir perasaan setiap hamba-Nya, jalan hidup Sandra memang tidak sempurna tapi keteguhan dan keberanian seorang Cassandra Esclovazka Xavier tak diragukan.

****

Halooooo

Cassandra! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang