Aku berdiri di tempat ini lagi, sama seperti dulu. Aku mendudukkan diri di pinggir jalan.
Tak berminat untuk melangkah lagi. Sudah lelah kakiku untuk menyusuri jalan-jalan yang tersedia. Aku menghela napas lelah, mataku menyusuri tempat gelap ini.
Pasangan itu lagi? Aku berdecak kesal, kenapa harus melihat pasangan yang sama lagi.
Tetapi, kenapa hatiku berkata untuk bertanya kepada pasangan itu terkait jalan mana yang menunjukkan untuk keluar dari tempat ini.
Saat aku mencoba untuk mendekat, suara tawa riang sangat terasa pada kedua telingaku. Rasanya membuatku semakin ingin menemui mereka.
Tak sengaja, aku tersandung batu besar tepat sekitar 2 meter dari tempat duduk pasangan itu. Selalu sama, hanya lutut yang mengeluarkan darah karena posisi jatuhku seperti merangkak.
Mataku saling bertemu dengan sosok lelaki itu. Sepertinya terganggu karena suara yang timbul saat diriku jatuh.
Aku mencoba berdiri lalu tersenyum menatap mereka berdua, hatiku berpacu dua kali lipat saat tatapan tajam yang mereka berdua berikan kepada diriku.
Senyumku luntur, langkahku semakin mendekat dan langkahku juga semakin memberat. Aku terus berdoa agar semuanya baik-baik saja.
Namun, ada suara tawa anak-anak yang membuatku menoleh ke belakang. Tawa yang selalu sama saat melewati pendengaranku.
Karena terlalu fokus dengan tawa seorang anak-anak itu, aku melupakan sepasang kekasih yang ingin aku tanyakan sesuatu.
Saat aku membalikkan badan seperti semula, sudah tak ada lagi sepasang kekasih yang selalu aku lihat di kursi panjang itu.
Aku mencoba melangkah ke depan untuk mencari mereka berdua. Tetapi entah mengapa sakit pada lututku terasa semakin ngilu.
Belum ada dua langkah kakiku berjalan, aku membeku di tempat merasakan dinginnya sesuatu yang memegang erat kakiku.
Aku mulai memberanikan menoleh ke arah belakang, dan saat itu juga semuanya menjadi gelap.
"Huh, Astagfirullah" ujarku membuka mata dengan keringat yang sudah bercucuran pada wajah juga tubuhku.
"Jam 3 pagi?" tanyaku pada diri sendiri saat melihat jam digital di atas nakas.
Aku bergegas mendudukkan diri setelah dirasa pusing di kepalaku telah hilang. Aku selalu menatap kakiku setelah bangun tidur, apalagi setelah bermimpi yang selalu sama setiap satu bulan sekali.
Aku masih bingung dengan semuanya, apalagi setelah mengalami mimpi itu tubuhku selalu sakit terutama pundak juga kakiku.
Aku tak tahu apa yang terjadi.
Karena tak mau semakin dalam memikirkan hal ini, aku langsung bergegas untuk melaksanakan ibadah malam.
○○○○
"Sialan, gue sekelas sama Garvi nih. Mana gak sama Heera lagi" umpatku setelah melihat pembagian kelas di papan pengumuman.
Aku mencari kelas X Social 1 dan menemukannya setelah melewati gedung B. Kelasku berada di lantai bawah gedung A, tepatnya di ruang 3.
Aku memasuki kelas dengan perasaan yang tak bisa kudeskripsikan, aku hanya berdoa agar semua baik-baik saja.
Melihat ada tempat kosong di bagian depan dekat pintu, aku langsung mendudukkan diri di kursi dekat tembok.
"Lah, lo sekelas sama gue?" ujar Garvi yang membuat diriku terlonjak kaget.
Aku menatap sebal lelaki di depanku, "Bisa gak sih, gak usah bikin gue jantungan"
KAMU SEDANG MEMBACA
ALVI
Teen Fiction"Sayang dok uangnya," lirihku mengalihkan pandanganku. "Kamu lebih sayang uang yang bisa dicari daripada tubuh kamu yang hanya hidup sekali?" Aku tersenyum, "Tidak apa-apa dok, yang terpenting keluarga saya di desa bisa makan daging dari uang yang...