Aku berseru senang karena baru saja mendapatkan email yang berisi masuk ke dalam daftar eligible tahun 2018.
Aku benar-benar merasa senang sekali hari ini, entahlah rasanya ingin selalu tersenyum setiap saat.
Dengan cepat aku beranjak dari ranjang dan mencari keberadaan Ibuku dan ternyata sedang berada di teras rumah.
"Bu, Alvi ada kesempatan buat daftar kuliah pake jalur raport" ujarku pada Ibuku yang sedang menyuapi adik laki-lakiku, Varo.
Aku bisa melihat guratan senyum yang terpatri dari wajah ibuku, aku merasa sangat lega sekarang dan tinggal mengambil berkas perlengkapan KIP saja di Pak Carik desaku.
"Alhamdulillah, semoga bisa lolos ya nak!" balas Ibuku dengan senang.
"Amiin Ya Allah, pokoknya Ibu harus doain aku biar bisa lolos ya! Gak kenapa-napa yang doain Ibu aja, kan bahagianya Allah itu bahagianya Ibu jadi bisa aja kan keinginan Ibu juga keinginan Allah juga" jelasku dengan terkikik.
Ibu tersenyum, "Ayah pasti doain kamu, cuma kamu yang keburu tutup mata"
"Aku gak tutup mata kok bu, aku cuma kecewa sama ayah yang terlalu bodo amat sama anaknya" balasku tak terima dengan perkataan Ibu.
Helaan napas Ibu bisa kurasakan, aku hanya kecewa dengan Ayah. Apakah tidak boleh?
"Tetapi kamu gak boleh tutup mata sama perjuangan ayah buat kamu, punya ayah tempramental itu memang harus extra sabar nak! Coba lihat ayahmu sekarang nak!" pinta Ibu kepadaku sambil menunjuk suaminya yang sedang menurunkan kelapa dari tempat khusus yang diletakkan di atas motor.
Aku terdiam seribu bahasa saat melihat keringat bercucuran dan raut lelah dari wajah ayahku. Tubuh kurus dan rambut yang tak terurus dengan kulit eksotis karena terpapar sinar matahari membuat dadaku sesak.
Aku akui memang salah, namun perilaku ayah membuat diriku kecewa.
"Maaf bu, tetapi luka yang diberikan ayah gak bisa nutupi segala perjuangan ayah. Aku memang salah, tetapi rasa kecewa terhadap ayah lebih besar" pungkasku lalu kembali ke kamar.
Air mataku mengalir mengingat segala bentuk perjuangan ayah, dan yang paling membekas adalah melihat ayahku di hina oleh teman laki-lakiku saat membonceng diriku dengan sepeda ontelnya setelah mengambil raport milikku di bangku sekolah dasar.
Aku masih mengingat kata-kata menyakitkan itu.
"Haha nganggo pit" ujar teman laki-lakiku.
(Haha pakai sepeda)Dengan cepat aku menoleh dan menatapnya dengan sendu, aku ingin menangis namun akan terasa percuma bukan?
Aku terkekeh pelan mengingat hal menyedihkan yang terjadi di bangku sekolah dasar.
Mengingat wajah yang mereka gunakan untuk merendahkanku, mengingat ucapan mereka menghina nama ayahku, mengingat ucapan mereka menghina fisikku bahkan membujuk yang lain agar tak berteman denganku.
Teringat hal tersebut membuat diriku mengingat masa kecilku dengan ayah, dimana aku belum mengerti semuanya dan masih bisa merasakan kedekatan dengan ayah.
Aku tertawa miris melihat diriku yang sekarang, tumbuh dengan keluarga yang lengkap namun tak merasakan kehangatan di dalamnya.
Aku membenci hal ini, sungguh.
Dipaksa menjadi dewasa saat umurku masih balita, dititipkan ke sana-sini saat orangtuaku pergi bekerja dan hanya malam hari aku berkumpul dengan orangtuaku.

KAMU SEDANG MEMBACA
ALVI
Teen Fiction"Sayang dok uangnya," lirihku mengalihkan pandanganku. "Kamu lebih sayang uang yang bisa dicari daripada tubuh kamu yang hanya hidup sekali?" Aku tersenyum, "Tidak apa-apa dok, yang terpenting keluarga saya di desa bisa makan daging dari uang yang...