"Estrella Alvie XII SOCIAL 1 dengan jumlah nilai akhir 1325 berhasil menduduki peringkat 1 di jurusan IPS" panggil dari central yang membuatku bergegas untuk menaiki panggung.
Sorak gembira dari teman-temanku belum berhenti bahkan saat aku dikalungkan gordon oleh kepala sekolah mereka bertambah menaikkan volume.
"Terima kasih banyak" ujarku sembari menempelkan kedua telapak tangan sebagai tanda terima kasih karena aku dan Bapak kepala sekolah tak bisa berjabat tangan.
Setelah itu kami berfoto bersama.
Pada saat turun panggung terdapat kamera yang menyoroti diriku dan disitu aku membuat tanda menggunakan tangan bahwa aku bangga pada diriku sendiri.
"Alhamdulillah Ya Allah. terima kasih atas segala bantuan yang Engkau berikan kepada diriku yang lemah ini" batinku lalu kembali bergabung bersama kedua orangtua juga adikku.
"Kakak keren sekali" seru Dina dengan riang yang membuatku tersenyum terharu.
"Terima kasih, kamu juga sangat keren" balasku lalu mendudukkan diri di kursi dekat dengan ibukku.
"Selamat nak" ujar wanita paruh baya dengan kebaya warna pink hitam lusuh yang melekat pada tubuh kecilnya.
"Terima kasih bu"
Setelah selesai prosesi wisuda kali ini, kedua orangtuaku dipanggil oleh bk sekolahku dan aku pun tak tau apa yang akan mereka bahas.
Sembari menunggu kedua orangtuaku, aku memilih menghabiskan waktu dengan Bintang.
Hal pertama yang kami lakukan tentu saja foto bersama.
"Tolong ya fotoin gue sama Alvi!" pinta Bintang pada Andre.
Andre menerima ponsel milik Bintang lalu mulai memotret kami berdua.
"Makasih ya" ujarku dengan senyuman tipis.
"Thanks ya" tambah Bintang.
Andre menganggukkan kepalanya singkat, "Iya, santai aja kali. Yaudah kalau gitu gue duluan ya"
"Bentar dulu elah, lo gak mau foto bareng gue?" canda Bintang yang membuatku tersenyum geli, apalagi melihat reaksi yang ditunjukkan oleh Andre.
"Udah sana cepet lo berdua biar gue fotoin, tenang aja gue pro kalau kayak gini" pintaku sembari merebut ponsel milik Bintang.
"Oke, 1 2 3.... selesai, udah sana lo pulang aja!" ujarku mengusir Andre setelah selesai berfoto dengan Bintang.
"Gak boleh gitu ih" tegur Bintang yang kuanggap angin lalu saja.
"Lo gak mau foto bareng Garvi?" ujar Andre sembari meninggalkan kami berdua dari aula ini.
"Sialan lo ya! Ogah banget gue foto sama dia, gak sudi" teriakku dengan cepat karena melihat Andre yang sedikit berlari.
"Heleh gaya lo emang! Lo pernah suka sama tu bocah kalau lo lupa" sindir Bintang yang membuatku semakin kesal.
Aku memincingkan mata pada Bintang, "Suka belum tentu cinta, inget itu!"
"Iya-iya, nyolot mulu lo maba UGM!" ujar Bintang dengan nada yang lebih tinggi daripada diriku.
"Lo juga nyolot ya maba UGM!"
○○○○
"
Besok Alvi juga mau sambil kerja, jadi ya masih ada uang buat ditabung atau dikirim ke rumah" jelasku pada kedua orangtuaku.
Sekarang aku berada di depan ayah juga ibuku, posisi yang sama seperti dahulu namun terasa berbeda.
"Bagus-bagus, kirim aja ke ibumu! Tidak usah kirim ayah, yang lebih butuh uang kan ibumu" balas Ayah dengan datar.
"Karena ayah tidak pernah memberi uang Ibu" tambahku dalam hati.
Aku menatap Ibuku yang sedang menatap diriku juga. Aku bisa melihat guratan sedih wajahnya yang tak bisa Ibu sembunyikan dari diriku.
Ibu tersenyum tipis kepadaku yang membuat dadaku terasa sangat sesak. Aku tak habis pikir dengan kesabaran yang ada dalam diri Ibuku.
"Ya nanti lihat aja, Sabtu besok Alvi harus udah berangkat ke Jogja karena itu hari pertama masuk kerja"
Ayah mengangguk lalu merogoh saku baju koko orange miliknya. Setelah mendapatkan apa yang Ayah mau, Ayah memberikan beberapa lembar uang berwarna merah kepadaku.
"Ayah cuma bisa ngasih segitu, untuk laptop Ayah tidak bisa membelikan. Kalau Ibumu ada uang, minta saja pada Ibumu!"
Aku mengangguk paham lalu mengambil uang yang Ayah berikan untukku, "Terima kasih, kalau untuk laptop bisa Alvi beli dari hasil gaji nanti"
"Maaf Ibu, mungkin Alvi belum bisa ngasih uang Ibu sampai gaji Alvi sudah cukup untuk membeli laptop" imbuhku dengan menatap Ibu.
Ibu menggeleng, "Tidak masalah nak, Ibu masih bisa dapat uang dari hasil nganyam bambu. Justru Ibu yang seharusnya minta maaf karena tidak bisa membantu apa-apa buat kamu nak"
"Tuh sadar diri jadi orang!" desak Ayahku yang membuat emosi dalam diriku mulai memuncak.
Kemudian, Ayah menatapku dengan tajam dan berkata tanpa rasa bersalah sedikitpun "Makanya kalau kamu gak mau dipandang rendah kayak Ibumu, jadi perempuan yang kaya terus cari yang setara biar derajatmu sama. Biar tidak membebani suami nanti!" pungkas Ayahku lalu beranjak dari tempat duduk dan berjalan keluar rumah.
Ayu menatap kosong Ayahku yang sudah keluar melalui pintu depan rumah sederhana ini.
"Sudah nak! Bener kata Ayahmu, lihat kan Ayah masih peduli sama kamu, sama adik-adikmu juga Ibu. Jadi, kamu tidak usah khawatir tentang Ibu" jelas Ibuku yang membuat mata sipitku memerah.
Benar memang perkataan Ibu, namun aku tak suka dengan gaya bahasa yang Ayah pakai untuk menasihati diriku.
"Sabar ya bu, sebentar lagi Ibu akan merasakan kebahagiaan yang sebenarnya. Aku akan ngelakuin apapun demi bisa mengangkat derajat keluarga ini terutama Ibu. Aku akan buktiin kepada Ayah bahwa derajat Ibu sama Ayah itu sama, laki-laki dan perempuan itu sama. Tidak ada perbedaan"
Air mataku benar-benar mengalir sekarang, melihat tatapan mata Ibu membuat hatiku sangat sesak. Aku sangat menginginkan Ibu bahagia di masa tuanya.
"Terima kasih nak, Ibu bangga sama kamu. Ibu hanya bisa doain kamu dari sini, semoga jalan yang kamu lewatin dipermudah sama Allah ya nak" ujar Ibuku yang aku angguki.
"Ibu harus selalu semangat ngejalanin hidup, biar Ibu jadi saksi Alvi sukses nanti"
Ibu mengangguk lalu tersenyum simpul, "Amiin Ya Allah. udah malam, tidur sana!"
"Oke bos, malam Ibuku yang cantik ini" pamitku lalu beranjak dari tempat duduk menuju kamar tidur milik diriku yang berada tepat di depan ruang tamu rumah ini.
Setelah membaringkan diri di atas ranjang, aku menghitung uang yang Ayah berikan padaku.
"2 juta, cukuplah ya buat persiapan sama kos satu bulan dan hidup satu bulang sama keperluan kuliah" celotehku sembari membuka buku catatan pada halaman yang berisi keperluan kuliahku nanti.
"Oke tinggal laptop, pasti bisa"
Selesai berkutat dengan uang, aku langsung membaringkan diri di atas ranjang. Aku menghembuskan napas kasar karena begitu lelah hari ini.
"Kira-kira gue bisa beneran jadi orang yang bener-bener kaya ga ya? Gue pengen banget bantu orang-orang yang ga mampu soalnya" tanyaku pada diriku sendiri.
"Bisa, pasti bisa.... karena kan melakukan hal-hal positif, pasti Allah akan mempermudah jalannya" ujarku lalu mencoba merapatkan mata untuk beristirahat sejenak.
~TBC~
KAMU SEDANG MEMBACA
ALVI
Dla nastolatków"Sayang dok uangnya," lirihku mengalihkan pandanganku. "Kamu lebih sayang uang yang bisa dicari daripada tubuh kamu yang hanya hidup sekali?" Aku tersenyum, "Tidak apa-apa dok, yang terpenting keluarga saya di desa bisa makan daging dari uang yang...