"Pulang sekolah bukannya bikin otak santai malah begini, mending gue gak usah pulang aja tadi" gerutuku memasuki kamar setelah mendengar pertikaian orangtuaku di dapur.
"Bikin mood gue ilang tau gak"
"Vi, tolong jagain Varo sebentar ibu mau ke belakang!" teriak ibuku menghentikan aktivitasku yang sedang menuangkan coretan pada catatan harianku.
Aku membalas perintah ibuku di hati kecilku. Dengan gerakan sedikit cepat diriku telah sampai di kamar orangtuaku.
"Mau dibantu gak?"
Ibuku menggeleng, "Gak usah, bisa sendiri"
Aku mengangguk lalu ikut bergabung pada kedua adikku, "Kamu gak tidur Din?"
"Kakak gak lihat aku tidur atau gak?" balasnya yang membuatku terdiam.
Dina Fadila, adik pertamaku dengan jarak 11 tahun dari tahun kelahiranku.
"Yaudah sono tidur aja biar kakak yang jagain adek, lagian kamu cuma bisa ngeliatin aja kalau nangis atau pipis" sindirku karena kesal dengan adikku.
Dina menatapku dengan tatapan tajam, "Biarin sih, yang penting gak bikin nangis"
"Terserah kamu deh, males kakak kalau debat sama kamu"
"Bodo amat, dah lah aku mau makan aja. Bye!" balas Dina lalu pergi dari kamar tidur ini.
"Akhirnya"
Dengan gerakan pelan karena tak mau mengganggu tidurnya adikku, aku langsung membaringkan tubuhku tepat di samping varo.
Samar-samar aku dapat mendengarkan suara yang paling diriku benci. Ayahku sedang marah.
"Punya mata atau enggak! Sayur cuma kayak gini"
"Anjing!"
"Gak usah makan kalau gak suka"
"Bacot banget jadi perempuan"
Aku tersenyum dengan mata yang sudah memerah, apalagi setelah kedatangan Dina.
"Aku gak papa kak" ujar adikku pada diriku.
"Tidur sini! kakak udah ngantuk nih, oh ya jangan pernah ngikutin perkataan ayah yang gak baik ya dek!"
Dina mengangguk lalu membelakangiku untuk pergi ke alam mimpinya. Air mataku seketika turun melihat kejadian ini semua yang sering terjadi pada keluargaku.
"Sebentar lagi ya dek. Kakak usahain buat kalian" lirihku.
○○○○
"Ngapain lo?" heranku kepada Garvi yang tengah duduk di tempat penitipan motor.
Garvi tersenyum lalu mengedipkan matanya genit, "Nungguin lo lah"
Aku bergidik ngeri dengan kelakuan lelaki di hadapanku, "Gak ada yang minta"
"Ya- ya kan gue peka, gimana sih lo!"
"Bodo amat gue gak peduli, udah cepet lo jalan duluan!" balasku menyuruh Garvi terlebih dahulu.
Karena lama, aku pun mendahuluinya yang membuat lelaki itu mengikutiku dari belakang.
Di perjalanan, tak ada yang mengawali untuk melakukan pembicaraan. Bukannya aku tak menghargai kehadiran Garvi, namun diriku membutuhkan waktu dengan semua ini.
Aku hanya menatap datar dimana banyak para siswi menatapku seperti mangsa mereka. Dan aku tahu jelas apa penyebab ini semua.
Garvi.

KAMU SEDANG MEMBACA
ALVI
Teen Fiction"Sayang dok uangnya," lirihku mengalihkan pandanganku. "Kamu lebih sayang uang yang bisa dicari daripada tubuh kamu yang hanya hidup sekali?" Aku tersenyum, "Tidak apa-apa dok, yang terpenting keluarga saya di desa bisa makan daging dari uang yang...