"Lo mau bawa gue kemana sialan!" umpatku kepada Garvi.
Tak ada balasan yang kuterima. Aku mencoba lebih sabar lagi untuk menghadapi lelaki brengsek ini.
Tepat di belakang panti ini, langkah kami berdua berhenti. Napasku naik turun tak terkendali, sangat melelahkan.
Kami berdua duduk di bawah pohon yang cukup besar namun diriku tak tahu pasti pohon apakah ini.
"Tempat ini milik orang tua gue, lebih tepatnya mama gue yang mulai dari awal. Mama ngebangun panti asuhan ini karena gue gak bisa punya adik"
"Rahim mama gue diangkat tepat setelah gue lahir ke dunia ini karena suatu penyakit yang masih mereka rahasiakan. Sementara mama masih mau punya anak lagi, makanya mama bikin tempat ini"
"Gue datang kesini kalau ada masalah, rasanya nyaman banget buat ngilangin semuanya"
Penjelasan Garvi membuat mataku memerah. Entahlah, diriku benar-benar gampang terbawa suasana.
"Hebat ya mama lo! Bantu orang juga salah satu tujuan gue buat berhasil, ngeliat orang-orang banting tulang di jalanan tuh rasanya bikin gue bener-bener bersyukur sama apa yang dikasih Tuhan"
"Tetapi, keterbatasan gue yang belum bisa bikin gue buat nyoba hal baik itu"
Garvi menatapku sekilas setelah aku membalas pernyataannya membuat diriku dengan cepat mengahapus air mata juga ingus yang keluar, memalukan.
"Dih cengeng!" ledek Garvi yang kubalas sedikit pukulan pada lengan atasnya.
"Biarin! Lagian lo nyebelin banget, orang lagi serius juga ish!" kesalku.
Aku semakin kesal saat dirinya tertawa terbahak-bahak namun aku terdiam saat melihat Garvi mengeluarkan rokok, lengkap dengan koreknya.
Saat dirinya mulai menyalakan rokok yang telah diapit oleh bibirnya aku pun menjauhkan diri dari tempat ini yang membuat Garvi menahanku.
"Kenapa pergi?"
Aku berhenti dan menata dirinya, "Gue gak suka asep rokok, apalagi orang yang ngerokok"
"Padahal rokok bikin gue tenang" balas Garvi yang membuat kakiku tak menginginkan melangkah.
Aku menatap Garvi sebentar, "Nyakitin diri sendiri yang lo lakuin bakal terasa saat lo udah tua bahkan saat lo ngerokok juga ngerasain kok. Padahal rokok aja ngakuin dirinya racun, dan dengan bodohnya manusia bangga telah diracuni"
Aku terkekeh, "Dipikir hidup lo karangan disney kali, lanjutin aja ngerokoknya karena percuma lo ngajak gue ke sini cuma buat cari penyakit"
"Iya oke, udah noh gue buang. Sekarang lo cepet ke sini, habis itu pulang" bujuk Garvi setelah mematikan rokok miliknya.
Aku pun menuruti dirinya namun meminta semua rokok yang dimilikinya, "Gue pulang sendiri kalau lo gak nurut"
"Iya-Iya, ini ambil aja terserah lo mau ngapain rokok mahal gue" pasrah lelaki disampingku yang membuat diriku terkekeh.
"Lo kenapa bisa sama dia dan kenapa lo bisa kenal sama dia?" tanya lelaki itu sembari meringis saat melihat rokok miliknya kupatahkan satu- persatu.
"Kenapa? Gak terima?" balasku karena lebih tertarik dengan reaksi yang ditampilkan.
Garvi menggeleng kemudian berdecak, "Cepet kenapa!?"
"Maksud lo Garva?" balasku yang diangguki oleh dirinya.
Aku terkikik geli mengingat kejadian lalu yang membuat diriku dengan Garva bisa saling tahu sama lain, "Gue gak sengaja ngenain botol yang gue tendang ke Garva, nah dari situ deh jadi kenal"

KAMU SEDANG MEMBACA
ALVI
Teen Fiction"Sayang dok uangnya," lirihku mengalihkan pandanganku. "Kamu lebih sayang uang yang bisa dicari daripada tubuh kamu yang hanya hidup sekali?" Aku tersenyum, "Tidak apa-apa dok, yang terpenting keluarga saya di desa bisa makan daging dari uang yang...