Senin adalah hari yang kunanti karena pada hari ini aku memulai kegiatan lagi di sekolah. Entahlah, aku hanya tak nyaman di rumah.
Maka dari itu, aku lebih suka senin daripada hari yang lain dimana senin memiliki banyak hatters.
Pukul 6 tepat aku mulai melajukan motorku untuk menuju ke sekolah, lebih tepatnya penitipan motor karena aku ke sekolah jalan kaki.
Saat selesai menitipkan motor diriku langsung bergegas menuju sekolah. Sebenarnya, aku belum sarapan karena memang tidak terbiasa dengan hal itu walaupun pada kenyataannya aku memiliki maag.
"Sial, kenapa lo sama cewek itu lagi sih. Emang mulut setan tuh ya begini!" umpatku lirih karena tak mau murid lain mendengar umpatanku.
Bagaimana bisa aku tak mengeluarkan umpatan dimana laki-laki yang telah memberikan secuil harapan pada diriku berangkat bersama menuju sekolah.
Aku berjalan cepa mendahului Garvi dengan wanita yang kutahu bernama Violetta Gloretha. Aku benar-benar tak menoleh ataupun sekedar melirik keduanya.
Hatiku tak bisa diajak kerjasama sekarang dan aku membencinya. Lihat, bahkan tak ada reaksi apapun yang diberikan dari Garvi.
Aku terkekeh miris, sebegitu malunya Garvi pada orang-orang sehingga tak menyapa diriku padahal dirinya selalu menyapaku terlebih dahulu.
"Gue sadar, lo sama gue gak setara" lirihku lalu mempercepat langkahku agar cepat sampai di kelas.
Memasuki kelas dengan wajah yang berseri namun datar sudah menjadi kebiasaan bagi diriku. Aku memang pandai dalam menyembunyikan ekspresi namun tak pandai dalam menutupi bukti pada fisikku.
"Ngerjain apa lo?" tanyaku pada Bintang yang tengah sibuk pada buku juga alat tulisa di depannya.
Bintang menatapku sekilas lalu kembali ke aktivitas awalnya, "Antropologi, gue belum selesai ngerjain sialan!"
"Santai dong mbak, sensi amat"
Aku tertawa saat mendengar decakan dari Bintang, "Kayak lo gak sensian, emang lo udah selesai?"
"Udahlah, cuma lima soal doang mah gak seberapa bagi gue yang hobinya menulis" balasku dengan sedikit menyombongkan diri.
"Siap sipaling hobi menulis, bolehlah jokiin gue?"
"Gak mau lah, punya tangan lengkap tuh bersyukur ya dengan cara menulis ini berarti tandanya lo udah bersyukur" jelasku.
"Nggih siap neng!" balas bintang terkekeh.
Aku tak mengidahkan bintang. Namun, diriku tertarik untuk membahas baju yang dipakai oleh dirinya.
"Ini bukan baju lo gak sih?" tanyaku.
Pasalnya, baju osis miliknya terlihat kusam tak seperti biasanya.
Bintang menatapku lalu mengangguk, "Punya kakak gue, lo inget kan kalau gue punya kakak cewek"
"Mbak Seila? emang baju lo kenapa?"
"Lo tau gak sih, gue inget baju ini belum dicuci tuh tadi malem pas gue kebangun jam 12 malem gegara mimpi baju osis gue ilang eh ternyata belum dicuci" jelas Bintang yang membuat diriku tertawa.
"Yaudah deh akhirnya gue nyuci tuh baju malem-malem, ngeselin banget emang tuh baju" lanjut Bintang yang membuat tawaku semakin meledak.
"Astaga, bisa-bisanya lo ngelupain baju ini" balasku disela-sela tawaku sendiri.
Bintang menatapku dengan raut kesal, "Namanya juga lupa ih, diem deh ketawa mulu lo!"
"Ya lo pagi-pagi udah bikin gue ngakak!"
Aku terdiam saat mendengar deheman seorang laki-laki yang membuat suasana menjadi sunyi. Detik itu juga diriku kembali fokus pada pekerjaanku yang belum selesai.
"Ngapain sih lo masih di sini?" tanya Bintang tak santai.
"Diem lo Tang!" balasan yang diberikan oleh Garvi membuat diriku harus menahan tawa.
"Bintang anjir, mau gue tang mulut lo hah?"
"Cewek gila, nanti lo keluar sama gue pas mau upacara dan gue maksa!" ujar Garvi mendekat ke arahku lalu berlalu ke tempat duduknya di pojok belakang.
"Gila" lirihku yang membuat Bintang mulai menggoda diriku.
"Aduh temen gue jadi tergila-gila sama pangeran buaya"
"Diem deh lo!" sentakku tanpa menatap Bintang.
"Iya-Iya"
Hening, karena tak ada percakapan lagi setelah balasan yang diberikan oleh Bintang. Tak lama, pemberitahuan dari central untuk segera ke lapangan dan melakukan upacara bendera.
Benar saja aku keluar terakhir karena harus menyelesaikan pr yang belum sempat aku kerjakan di rumah bukan karena menuruti ucapan Garvi.
"Sorry buat tadi pagi" ujar Garvi dan membuat diriku kembali mendudukkan diri.
Detak jantungku kembali berdegup kencang saat mendengar decitan kursi dan merasakan harum wangi dari parfum yang biasanya dipakai oleh Garvi.
Kemudian, aku menoleh lalu kembali menatap arah depan. "Gak perlu minta maaf, gue dan lo gak ada apa-apa. Lagian, hal kayak gini bikin gue sadar kalau gue emang gak pantes dapet perhatian yang tulus dari orang"
Garvi mengehela napas cukup keras yang membuatku semakin merasa bersalah, "Sekali lagi gue minta maaf sama lo cause even if you're not for me you'll always have a place in my heart"
"Okey, I go it and I'm sorry because we can't be together" balasku lalu berlalu pergi dengan perasaan yang aneh.
Setelah selesai upacara diriku langsung bersiap-siap untuk kembali ke rumah karena untuk hari ini terdapat rapat besar dengan para komite.
Mataku tertuju ke arah pojok belakang, tempat dimana Garvi duduk dan nihil. Tak ada lelaki gila itu.
"Gue duluan ya, becarefull"
Binatang menatapku, "Lo juga hati-hati di jalan ya" yang hanya kuangguki saja.
Aku tak langsung kembali pulang ke rumah karena diriku harus mampir ke sebuah Cafe kecil dekat sekolah untuk mengerjakan ceritaku. Aku ke sini hanya satu bulan sekali agar mendapatkan inspirasi baru untuk ceritaku.
Dan benar, mataku memerah saat melihat interaksi antara ayah juga anak perempuan di depanku persis.
Senyumku merekah dibarengi oleh air mataku yang jatuh. Entahlah, padahal yang kudengar mereka hanya membahas perihal sederhana namun bisa se hangat itu.
Aku iri.
Aku menginginkan hal itu.Tanganku mulai menulis pada buku yang berisi semua khayalan tak jelasku, "Kenapa aku dan ayahku tak bisa seperti itu? Bukankah aku dan dirinya juga sama? Aku menginginkan hal itu. Sungguh, aku tak berbohong. Memang benar, hal sesederhana apapun itu jika berhubungan dengan anak perempuan dan sang ayah pasti akan berarti. Namun, tak semua anak perempuan mendapatkan hal itu. Jadi, bersyukurlah bagi kalian yang bisa merasakan hal seperti itu"
Hargailah sekecil apapun moment dirimu bersama ayah kalian karena hal tersebut adalah moment terindah dalam hidupmu.
Aku terkekeh kecil, "Aku memiliki seorang ayah namun aku kehilangan perannya. Aku bangga memiliki seorang ayah seperti ayah namun aku tak menginginkan anakku kelak memiliki ayah seperti ayah. Aku sayang ayah tetapi aku juga membenci ayah. Maafkan aku ayah,
Berhenti, aku sungguh tak kuat menulis semua yang ada di pikiranku saat ini. Rasanya, aku menginginkan untuk berteriak sekarang.
~TBC~
KAMU SEDANG MEMBACA
ALVI
Fiksi Remaja"Sayang dok uangnya," lirihku mengalihkan pandanganku. "Kamu lebih sayang uang yang bisa dicari daripada tubuh kamu yang hanya hidup sekali?" Aku tersenyum, "Tidak apa-apa dok, yang terpenting keluarga saya di desa bisa makan daging dari uang yang...