Setelah satu minggu aku terbaring lemah di Rumah Sakit, aku sudah diizinkan pulang. Sebenarnya, aku yang memaksa Selly karena aku harus bekerja agar bisa kembali ke Purworejo.
Izin satu Minggu karena sakit, aku harus melunasi jam kerjaku kurang lebih 32 Jam. Sangat melelahkan sekali.
Aku menghembuskan napas lelah disaat selesai dengan pekerjaan hari ini. Bayangkan saja, aku harus kembali bekerja setelah pulang dari rumah sakit pada hari itu juga karena jika tidak aku tidak akan mendapatkan upah.
Mau tidak mau, aku harus bekerja walaupun memang masih sangat terasa sakit. Akan tetapi aku sudah terbiasa dengan semuanya.
Kurang lebih sudah lima hari aku bekerja terlalu keras hingga hari ini. Berangkat pukul 6 pagi dan pulang pukul 9 malam. Aku memang sudah gila bukan?
"Pulang aja lah, tidak usah ke dokter aja. Lagian, obatnya masih ada dan aku juga baik-baik saja," celotehku lalu memutuskan untuk pulang.
Aku memang sengaja tidak kontrol ke Rumah sakit karena aku merasa tak perlu, yang pasti karena aku tidak mau mengeluarkan uang untuk hal yang tak begitu penting bagi diriku.
Anggap saja aku egois atau bahkan gila karena memang aku tak mau membuang-buang uang hanya karena kontrol dan obat, aku hanya perlu tidur untuk menyembuhkan penyakit sialan ini.
"Baru pulang nduk?" tanya seorang wanita paruh baya dengan daster batiknya membukakan gerbang Indekos.
Aku mengangguk lalu tersenyum, "Iya bu, ada apa ya?" heranku karena kenapa bu Siti ada di Indekos.
"Katanya airnya mati? Barusan udah diperbaiki sama tukang, kenapa kamu ndak bilang sama Ibu?" tanya bu Siti sembari mengunci gerbang lalu kami jalan ke dalam Indekos.
"Maaf bu, tadi pagi buru-buru. Jadi, tidak sempat deh," balasku tak enak hati.
"Ya sudah, tanganmu panas banget iki lho. Urung minum obat yo nduk?" tanyanya karena tadi aku sempat salim terlebih dahulu setelah mengetahui ada bu Siti.
Aku menggeleng bohong, "Sudah bu tadi di Tempat kerja, biasanya emang seperti ini." jelasku.
Bu Siti membawaku pergi ke Rumahnya yang letaknya tepat di samping Indekos, aku hanya menurut.
"Duduk sebentar, ada yang mau Ibu bicarakan sama kamu!" pintanya setelah sampai di Ruang tamu rumah bu Siti.
Aku mengangguk lalu mendudukkan diri di Sofa yang ada, "Iya bu."
Sekarang, aku dan bu Siti duduk bersebelahan.
"Maaf ya nduk, malam-malam gini Ibu ngajak kamu ke Sini soalnya ini penting banget," jelas bu Siti yang kuangguki.
"Mboten nopo-nopo kok bu," balasku menatap wanita paruh baya di sampingku.
"Jadi gini, kamu kerja kan seko dino Kamis tekan Minggu to? Nek dino Senin tekan Rabu belajari anak Ibu kerso ora?"
Aku terdiam mendengarkan perkataan bu Siti, aku harus menjawab dengan benar bukan?
"Nabel nggih bu? Sekarang kelas berapa ya?"
"Iya Nabel dan Alhamdulillah kemarin naik ke kelas 4 SD, kamu mau? Ibu mohon sanget, Nabel itu sudah ikut les dimana-mana tetapi dia selalu bilang tidak nyaman opo ora ono sek melbu. Ono wae alesane, koe gelem to nduk?" ujar bu Siti dengan raut wajah yang menurutku sangat berharap sekali kepada diriku.
"Dicoba dulu aja bu, nanti kalau memang Nabel tidak paham dengan apa yang saya sampaikan. Alvi pasti bilang sama Ibu," balasku setelah terdiam sebentar.
Bu Siti tersenyum, "Terima kasih banyak nduk, Ibu percaya kalau Nabel akan bertahan kalau belajar sama kamu nduk. Sekali lagi Ibu berterima kasih sama kamu, masalah bayaran udah Ibu atur. Jadi, kamu tidak usah memikirkannya."

KAMU SEDANG MEMBACA
ALVI
Teen Fiction"Sayang dok uangnya," lirihku mengalihkan pandanganku. "Kamu lebih sayang uang yang bisa dicari daripada tubuh kamu yang hanya hidup sekali?" Aku tersenyum, "Tidak apa-apa dok, yang terpenting keluarga saya di desa bisa makan daging dari uang yang...