Bab 33

1K 37 5
                                    

Kamu adalah kata yang tak pernah habis terucap.

Kamu adalah kerinduan yang semakin menyekap kala detik berlalu.

Kamu akan selalu ada di setiap doa sepertiga malamku.

Kamu adalah... Syarifa Khairunnisa Azzahra.

Aku tanpamu bagaikan puisi tanpa makna, bagaikan cakrawala tanpa kejora.

~|| Paisal Kurniawan Alaydrus ||~

ooOoo

Semenjak Gus Pais mengetahui Rifa adalah gadis kecil yang pernah hadir di masa lalunya, lelaki  itu terus memandangi wajah Rifa dengan amat lekat. Ia baru menyadarinya, bahwa bibir pucat dan mata lentik Rifa sangat mirip dengan gadis kecil itu.

Gus Pais memegangi erat tangan Rifa dan menciumnya dengan lembut. Lantas, Gus Pais memegangi ikra kecil itu yang ia minta dari Nayra tadi sore. Meskipun harus memintanya dengan berbagai cara, salah satunya, Gus Pais akan membelikan ikra lagi kepada Nayra yang lebih bagus dari ikra yang ia pegang. Itu tidak masalah baginya, buku ikra banyak yang menjual, namun ikra yang ia pegang sangat berharga.

"Jika memang kamu gadis kecil itu, aku akan sangat merasa bersalah, karena telah mencampakkan kamu dan cuekin kamu selama ini." Gus Pais memandangi wajah Rifa dengan sendu dan mengecup kembali tangan sang istri.

"Sungguh, aku benar-benar minta maaf," ujarnya kembali dengan nada lirih.

Tidak ada yang lebih menyakitkan ketika melihat orang yang kita cintai terkapar lemah tak berdaya.

Tak mau terlalu larut dalam kesedihan, Gus Pais mengambil Al-Quran yang ia simpan di atas lemari kecil untuk ia bacakan. Melantunkannya pada Rifa, berharap istrinya itu segera pulih dan siuman. Ia lantunkan dengan amat merdu, buliran air mata kembali membasahi pipinya.

Beberapa menit ia lantunkan. Ralat. Mungkin beberapa jam, sampai Gus Pais menguap dan berakhir ketiduran di samping Rifa seraya memegangi tangan sang istri.

Tubuh Rifa mengalami kejang-kejang dan hal itu membuat Gus Pais bangun

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tubuh Rifa mengalami kejang-kejang dan hal itu membuat Gus Pais bangun. Lelaki itu panik melihat istrinya menggerak-gerakan badannya. Lantas, Gus Pais segera memanggil dokter untuk cepat memeriksa istrinya.

Tak membutuhkan waktu lama, dokter yang bergenre perempuan itu memasuki ruangan Rifa di buntuti oleh beberapa suster. Gus Pais mondar-mandir di depan ruangan Rifa sembari melafazkan zikir. Ia tak di perbolehkan masuk oleh dokter yang menanganinya.

"Ya Allah, semoga istri hamba baik-baik aja," ucapnya, ia mondar-mandir sembari berdoa. Gus Pais mencoba untuk mendudukkan bokongnya di kursi ruang tunggu. Namun, hatinya merasa gelisah, ia berdiri kembali.

Sekitar dua puluh menitan, dokter yang menangani istrinya keluar di susul oleh suster.

"Bagaimana dok, keadaan istri saya?" tanya Gus Pais dengan muka paniknya.

Raut wajah dokter itu murung dan menundukkan pandangannya ke bawah. Lantas, ia membalas pandangan Gus Pais yang masih di penuhi kepanikkan.

"Istri saya baik-baik aja, kan, dok?" tanya kembali.

Sebelum menjawab pertanyaan Gus Pais, dokter itu menghembuskan napasnya pelan. Dokter juga manusia biasa dan hanya  Tuhan lah yang bisa berkehendak.

Dengan berat hati dokter itu berucap, "Berdasarkan hasil pemeriksaan, ada pembuluh darah otak yang pecah, pecahnya pembuluh darah bisa juga disebabkan kaget yang luar biasa. Itulah mengapa pasien mengalami kejang-kejang.

"Terus, istri saya masih bisa di selamatkan, kan, dok?" tanya Gus Pais dengan kepanikan yang luar biasa.

"Maaf, pasien tidak bisa kami  selamatkan,"ucap dokter itu.

Deg!

Mendengar itu dunianya luruh seketika, air matanya pun ikut terjatuh dengan sendirinya tanpa sadar. Malam ini. Menit ini. Detik ini. Dunianya benar-benar hancur. Kalau Gus Pais di suruh memilih di tusuk belati yang terdapat racun mematikan atau kehilangan istrinya, maka ia akan lebih memilih di tusuk dari pada kehilangan sang istri.

Gus Pais bergeleng bersama air mata yang berjatuhan. "Ngak... Dokter bercanda, kan?" tanya Gus Pais tak percaya.

"Waktu kematian istri anda jam sepuluh lebih dua puluh menit." 

"NGGAK! GAK MUNGKIN ISTRI SAYA MENINGGAL!"

Gus Pais menerobos masuk ke pintu ruangan dimana istrinya berada. Lelaki itu membuka kain putih yang menutupi tubuh istrinya yang terbujur kaku.

Melihat wajah istrinya yang pusat pasi, rasa sakit seakan menerobos masuk ke dalam hatinya, mencabik-cabik relung jiwanya hingga tak menyisakan bentuk apa-apa selain kehancuran. Tangisnya pecah seketika.

"SAYANG, INI AKU, GUS KECILMU. BANGUN, KITA PERNAH BERJANJI UNTUK HIDUP BERSAMA, KAN?!"

Gus Pais mengguncangkan tubuh Rifa berharap istrinya itu kembali membuka matanya.

"Ya habibatiku bangun yuk, aku Isal, Gus kecilmu."

Gus Pais mengatur napasnya yang tersendat. "... bangun sayang," cicitnya lagi dengan air mata yang mengalir membasahi pipinya.

"Ya Allah... jangan ambil istri saya terlebih dahulu! Saya belum siap kehilangannya! Ambil saja nyawaku ya Allah, jangan istriku!" teriaknya.

Tanpa Gus Pais duga, di belakang sudah ada Umi Halimah dan Kiai Abdurrahman. Kedua orangtua Pais, sudah di beri tahukan oleh dokter yang menangani Rifa tadi. Umi Halimah langsung menghampiri Rifa, menangis meraung.

Sedangkan Kiai Abdurrahman memeluk erat anaknya yang menangis histeris. lelaki paruh baya itu mengusap-usap punggung anaknya untuk menguatkan. "Udah Nak, ikhlaskan istrimu. Dia udah tenang di alam sana."

"Ng--gak Bi, ... Pais belum ikhlas kalau harus kehilangan Rifa." Gus Pais menahan sesak di dadanya yang amat sakit.

Lelaki itu beradu pandang dengan abinya dengan deraian air mata. "... Abi tau? Gadis yang selama ini Pais cari, ternyata adalah Rifa." Napasnya tersendat dengan air mata yang terus saja mengalir.

"COBA BAGAIMANA PAIS BISA IKHLAS BI?! PAIS SAYANG SAMA DIA, PAIS CINTA SAMA DIA BI. KEMBALIKAN LAGI NYAWA ISTRI SAYA, YA ALLAH... !" teriaknya. Dunianya benar-benar tak baik-baik saja, Gus Pais kembali menangis histeris di hadapan istrinya yang sudah tak bernyawa lagi. Dadanya sakit luar biasa melihat wajah sang istri yang pucat pasi.

"Ya Allah, yang sabar Nak." Kiai Abdurrahman kembali memeluk anaknya, ia juga menangis melihat anaknya terpuruk.

"Bangun sayang!" teriaknya kembali seraya mengguncangkan tubuh Rifa. Untuk saat ini yang ada di pikiran dan hatinya cuma Rifa, istinya. "... bangun," cicitnya dengan napas tersendat.

"RIFA... !"



Bersambung...

Mencari Cinta Gus KecilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang