Hallo semua, maaf banget ya... Untuk book ini Lara TIDAK AKAN MELANJUTKANNYA LAGI. Huhuhu(╯︵╰,) maaf banget ya🙏
-------------🎀
Pernikahan ini bukan tentang cinta. Setidaknya, bukan untuknya.
Astra Elyra Calista selalu percaya pada pernikahan...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Tidak semua cinta bisa bersinar terang. Beberapa hanya datang untuk tenggelam dalam bayang-bayang."
─── ・ 。゚☆: .☽ . :☆゚. ───
Ruangan terasa hening, hanya suara detak jam dinding yang terdengar samar. Astra masih duduk di kursinya, punggungnya bersandar malas, sementara tatapannya terpaku pada layar ponsel yang tergeletak di atas meja. Jemarinya sedikit gemetar saat ia menarik napas panjang, seolah mencoba meyakinkan dirinya sendiri.
Vesta yang duduk di dekatnya memperhatikan dengan saksama. Ia tahu, sahabatnya sedang bergulat dengan pikirannya sendiri, mencoba mencari alasan untuk tetap bertahan atau justru menyerah.
Vesta akhirnya memecah kesunyian, suaranya lembut namun tegas. "Apakah kamu benar-benar yakin akan melakukan ini?" tanyanya, matanya meneliti ekspresi Astra yang masih penuh keraguan.
Vesta tidak langsung menjawab. Ia hanya tersenyum kecil sebelum menyerahkan semangkuk bubur hangat pada Astra. Kehangatan dari uapnya seakan memberi sedikit kenyamanan di tengah hatinya yang masih kacau.
"Kalau begitu, kamu harus sabar dan kuat," ujar Vesta pelan, menegaskan bahwa keputusan Astra bukanlah sesuatu yang bisa diambil setengah hati.
Astra menerima mangkuk itu, membiarkan kehangatannya meresap ke dalam telapak tangannya. Ia tersenyum kecil. "Terima kasih sudah mengkhawatirkanku. Terima kasih juga sudah mendengarkanku merengek."
Vesta menggelengkan kepala pelan, merasa tidak perlu berterima kasih untuk sesuatu yang sudah seharusnya ia lakukan sebagai sahabat.
"Oh ya, apa Aldrin memarahimu karena pulang terlambat?" tanya Astra setelah beberapa saat hening, nada suaranya lebih santai.
Vesta menghela napas. "Tidak. Aldrin suka berpura-pura galak, tapi sebenarnya dia tidak pernah benar-benar marah."
Astra menaikkan sebelah alisnya, matanya berbinar penuh rasa ingin tahu. "Lalu kenapa kamu selalu terlihat takut padanya?"
Vesta menggigit bibir bawahnya, seakan enggan mengakui sesuatu. "Tidakkah menurutmu lebih menakutkan saat dia diam saja? Itu membuatku merasa seperti selalu dalam tekanan. Dia terlalu sulit ditebak."
Astra mengangguk paham, lalu terkekeh kecil. "Jadi dia seperti harimau?"