The Bitter Truth

1.1K 108 106
                                    

Brak!
Bara menutup pintu kamarnya agak keras. Dia langsung berlari ke lantai bawah, ketika Sangga muncul di depan pintu kamarnya. Sangga hanya menghela nafasnya, sudah sejak semalam. Bara bahkan kini tidak mau melihat wajahnya.

Sangga tau dia bersalah. Dan Sangga sendiri sampai kini tidak tau apakah dia mampu melupakan perasaannya pada Bara. Cinta pertamanya yang tidak mungkin bisa dia genggam di kehidupan ini.

"Kenapa si adek?"

Sangga berjengkit kaget saat mendengar suara Abangnya. Bang Jan berdiri menatapnya tajam dengan tangan yang terlipat di dada.

Sangga hanya mengangkat bahunya "gak tau" jawabnya singkat.

"Kalian berantem?" Cecarnya lagi.

Sangga berusaha menutupi kegelisahannya "gak ada apa-apa bang"

Jan Raka menghela nafasnya, biar bagaimanapun dia mengenal Sangga. Dia tau ada sesuatu yang Sangga sembunyikan.

"Gue tau tentang lu dan Bara, di rumah sakit" kata Jan Raka "kak Mahes juga"

Badan Sangga menegang, dia tidak menyangka kalau kedua kakaknya tau.


"Bukan salah kalian saling suka, karena dari awal kalian gak tau kalau ternyata kakak adik" Jan Raka berkata, pandangannya jatuh pada Sangga yang menunduk tidak berani menatapnya.

Jan Raka menepuk pundak Sangga, "Tapi Bara tetep Bayu, adik kita" mata Jan Raka menatap lembut mata Sangga "abang percaya Sangga bisa jaga adiknya"

Sangga mengangguk. Perkataan abangnya membuat perasaan bersalahnya semakin besar. Setelah itu Jan Raka meninggalkannya menuju lantai bawah. Meninggalkan Sangga dan pikirannya sendiri.




Sementara itu, Bara yang baru saja bangun dari tidurnya, buru-buru berlari ke lantai bawah. Dia melawan rasa pening di kepalanya, karena tidak tidur dengan benar semalam.

Mimpi sialan, makinya dalam pikirannya.


"Pak Yaksa"

Yaksa yang saat itu sedang duduk di kursi meja makannya, langsung menaruh cangkir kopi yang belum sempat dia minum. Bara, anaknya berdiri di sampingnya sambil menarik kecil lengan kemeja Yaksa.

"Pagi Bara" sapanya, meski dia ingin sekali menyentil dahi putranya ini. Bara masih memanggilnya pak Yaksa persis seperti karyawannya di kantor.

Alih-alih membalas sapaan ayahnya, Bara malah memeluk Yaksa, menjatuhkan dirinya dalam dekapan ayahnya.

"Aduh adek, lagi manja ke ayahnya ya" kata Mahes.

Sebetulnya sasaran Mahes adalah ayahnya. Ayahnya nampak terkejut setengah mati. Begitu juga bubunya yang duduk di samping ayahnya. Biasanya Bara hanya akan manja ke bubunya.

Yaksa mengecupi kening Bara, sementara anaknya malah ngedusel ke tengkuk lehernya. Mata Yaksa menatap Tara, menggodanya agar Tara semakin iri.

"Anak ayah masih ngantuk ya?" Tanya Yaksa, saat menyadari Bara memejamkan matanya. Yaksa mengangkat badan kecil Bara agar anaknya bisa nyaman berada di pelukannya.

"Eh bocil" Jan Raka yang baru tiba masih sambil mengucek matanya. Dia menatap aneh pada pemandangan luar biasa pagi ini.

"Kaya koala aja sih, pagi-pagi sudah pelukin pohon" kata Jan Raka, dia mengambil tempat duduk di samping Mahes.

"Terus ayah pohonnya gitu?" Tanya Yaksa, seolah dia menatap Jan Raka marah, padahal senyumnya belum hilang dari wajahnya.

Jan Raka dengan acuh mengambil roti dihadapannya "Ya, kalau Ayah merasa ya"

Bara BayuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang