Asking For Help (II)

1K 103 194
                                    

"Sus, kapan langitnya indah?" Tanya Bara kecil, dia cemberut saat melihat langit yang mulai berwarna abu pekat. Yang kata sus Akira, jika langit berwarna abu pekat langit itu tidak indah. Dan Bara tidak boleh main diluar.

Sus Akira yang saat itu sedang memasang gips di lengan kanan Bara, yang retak akibat dipukul dengan tongkat golf oleh Jonathan hanya tersenyum tipis.

Sebetulnya sus Akira ingin sekali menangis mengingat bagaimana perlakuan tuan Jonathan pada Bara. Tapi melihat wajah polos tuan mudanya, dia mau tidak mau menahan tangisannya.

"Saat matahari terbenam, jarum panjang di angka 5 dan jarum pendek disini" sus Akira menjawab sambil menggambar jam di gips Bara. Bara tertawa kecil

"Langit berubah jadi warna biru yang indah, atau berwarna ungu"

Mata Bara berbinar mendengar sus Akira. Sus Akira memang selalu bisa membuat Bara lupa sama rasa sakitnya.

"Itulah langit yang indah, disaat itu tuan lihat sekeliling tuan. Indah sekali"



Memori itu dibawa oleh Bara hingga kini. Bara mendongak menatap langjt berwarna keunguan, dan dia melihat sekelilingnya.

"Sus, langit yang indah sudah Bara temui" batinnya berkata. Berharap sus Akira di surga mendengarnya.



Bara menatap sekelilingnya. Bara percaya kini, jika ada hari yang indah baginya. Hari dimana dia merasa aman, tanpa perlu angkat senjata. Dan Hari tanpa perlu dia merasa bersalah karena bersenang-senang.

"Udah ih abang, muntah mulu" kata Sangga sambil mengelus punggung Bang Jan. Abangnya masih tertunduk di tong sampah.

"Malu sama adek tuh" jawab Sangga lagi sementara Bara hanya tertawa. Dia baru selesai naik roller coaster dengan Jan Raka dan Mahes.

"Kan lu gak ikut naik, jadi gak tau" kata Jan Raka lemah.

"Sangga kan jagain bubu" jawabnya

"Bohong, Sangga juga takut" jawab ayahnya "ayah yang jagain bubu"

"Anak bubu, hebat banget gak takut" kata Tara sambil mencium kening Bara. Jujur sedari tadi, jantungnya berdegup tidak tenang saat melihat ketiga anaknya naik roller coaster.

"Adek mau naik apa lagi?" Tanya Mahes, meskipun dia masih agak pusing.

"Naik bianglala yuk, bubu bisa ikut kan?" Tanya Bara

"Bisa dong"

Bara bersorak senang, dia berlari ke arah bianglala.

"Tunggu dek" jawab Mahes sambil mengejar adeknya. Begitu juga Sangga, dia tinggalkan bang Jan yang masih memuntahkan isi perutnya di tong sampah.


Tidak pernah sedetikpun, senyum luntur di wajah mereka. Bara tersenyum lembut pada angin yang meniup rambutnya. Bianglala itu membawa mereka naik.

"Bara senang sayang?" Tanya ayahnya, Pak Yaksa.

Bara mengangguk, "Bara bahagia sekali" ucapnya.

.
.
.

Hari sudah mulai berganti malam, mereka menaiki mobil yang dibawa oleh Yaksa menuju rumahnya. Di dalam mobil pun canda tawa masih terdengar. Bara tertawa keras saat dirinya dikelitiki oleh Jan Raka. Salahnya karena meledek bang Jan terus.

"Ayo sudah sampai, waktunya kita makan" ajak Yaksa.

Senyum di wajah mereka luntur, pintu utama mereka dipenuhi oleh sekelompok polisi. Christ ada disana, badan Bara agak menegang. Tanpa sadar Bara memeluk lengan bubunya.

Bara BayuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang