"Jam berapa kau pulang nanti?" Tanya Ben saat mobil yang ia kendarai berhenti di depan sekolah musik tempat Sue mengajar.
"Jam empat. Ben, aku bisa pulang sendiri. Aku tahu rute bus mana yang harus aku naiki," ucap Sue sebelum pria itu melanjutkan perkataannya. Sue tahu apa maksud Ben menanyakan itu. Pria itu ingin menjemputnya seperti yang biasa dilakukannya.
"Aku akan menjemputmu," ucap Ben dengan keras kepala.
Sue mendesah. Sejak pertama kali bekerja hingga hari ini, Ben selalu mengantar dan menjemputnya bekerja. Hampir semua orang di sekolah mengira mereka adalah suami istri karena sikap Ben padanya. Hanya segelintir orang yang tahu bahwa ia dan Ben tidak ada hubungan apa-apa.
Oke, bukan segelintir. Hanya ada satu orang yang tahu dan itu adalah Sam, pemilik sekolah musiknya yang juga adalah teman baik Ben. Namun tentu saja pria itu tidak akan mau repot-repot menjelaskan kepada semua orang tentang hubungan Sue dan Ben yang sebenarnya.
Sue sudah mencoba melakukan itu, menjelaskan pada semua orang yang berkata jika ia adalah wanita beruntung karena memiliki suami seperti Ben, dan tidak ada satu pun yang percaya padanya jika ia tidak ada hubungan apapun dengan Ben.
Bahkan ketika ia menunjukkan jarinya yang tidak dihiasi cincin apapun. Mereka justru berpendapat sendiri jika cincin itu dilepasnya karena sudah tidak muat akibat kehamilannya.
Ben hanya baik padanya karena ia hamil dan sendirian. Ia yakin tentang itu. Tidak ada hal lain yang akan menjadi penyebab kebaikan Ben selama ini.
Dan semoga saja tidak ada. Saat ini, Sue tidak ingin direpotkan dengan hal-hal seperti 'itu'. Ia lelah menjalani suatu 'hubungan' yang didasari dengan hati. Akan lebih baik jika ia terus seperti ini. Ia hanya akan hidup untuk mencintai anaknya.
"New York empat kali lipat besarnya dari kota ini dan selama ini, aku baik-baik saja sendirian ke mana-mana," kata Sue sambil membuka pintu mobil.
"Kau belum hamil saat itu."
Suara pelan dan khawatir Ben membuat satu kaki Sue yang hendak turun, tergantung di atas aspal yang hendak dipijaknya. Lehernya tiba-tiba tercekat dan matanya terasa panas. Ben tidak boleh peduli padanya seperti ini.
"Orang-orang mulai menggosipkan kita." Sue menoleh dan menatap wajah tampan Ben yang masih diliputi kekhawatiran. "Mereka mengira kita suami istri, atau setidaknya memiliki hubungan."
"Aku tahu."
"Dari mana kau..." Sue menghentikan pertanyaannya karena tahu dari mana Ben tahu tentang gossip itu. "Jadi sebaiknya kau mulai mengurangi jadwalmu untuk mengantar dan menjemputku atau orang-orang akan semakin puas dengan asumsi mereka."
Ben terkekeh. "Semua orang boleh berasumsi dan itu tidak membuatku peduli. Turunlah. Aku harus segera pergi. Klienku sudah menunggu."
"Aku akan pulang sendiri," ucap Sue sambil turun dari SUV milik Ben.
"Aku akan berada di sini jam tiga."
Sue cemberut, tetapi hanya ditanggapi cengiran Ben yang selalu tampak memukau seperti biasanya dan pria itu melambai riang saat melarikan mobilnya di jalanan yang tidak terlalu ramai.
Mata Sue masih menatap mobil Ben yang menjauh hingga tidak terlihat lagi dan ia menghela napas lelah saat berbalik masuk ke halaman sekolah.
Jika hanya sebuah persahabatan, ia akan menerima hubungan ini. Namun jika lebih dari itu, Sue tahu ia tidak akan sanggup. Hatinya sudah rusak dan tidak bisa diperbaiki lagi.
Sekarang ini, ia hanyalah wanita hamil yang sendirian dan tidak memiliki satu pun sandaran. Dan Sue tidak ingin bersandar pada siapapun termasuk Ben.
Ia tahu selama ini sudah terlalu banyak merepotkan Ben, dan Sue tidak ingin terlalu bergantung pada pria itu. Ia bisa hidup sendiri seperti yang ia rencanakan selama ini. Setelah ia pergi dari New York.
"Selamat pagi, Sue."
Sue tersenyum mendengar sapaan itu. "Hai, Sam! Selamat pagi!"
Sam adalah sahabat Ben sejak mereka masih sekolah menengah. Hubungan mereka berdua sudah seperti saudara dan ketika Ben berkata pada Sam jika ada kenalannya butuh pekerjaan, pria itu menerima Sue tanpa ragu.
Jika tidak ada Sam dan Ben, mungkin saat ini ia masih berkeliaran di sepanjang Portland untuk mencari pekerjaan yang mau menerima wanita hamil sepertinya.
Tidak banyak pekerjaan yang tersedia untuk wanita hamil apalagi jika itu menyangkut pekerjaan fisik. Menari juga saat ini tidak bisa Sue lakukan mengingat usia kandungannya yang masih muda. Apalagi, beberapa hari ini perutnya sering terasa kram. Sue tahu jika aktifitas fisik yang bisa ia lakukan terbatas sekarang.
"Kenapa Ben tidak turun?" Sam bertanya saat mereka berjalan memasuki sekolah musik yang tidak begitu besar itu.
"Dia terburu-buru memotret. Aku mual-mual tadi, dan kami kesiangan." Sue menjawab dengan wajah memerah malu.
Biasanya, ia tidak mengalami itu. Terlebih kehamilannya sudah masuk trimester kedua. Namun pagi ini, ia bangun dengan rasa mual hebat dan tidak bisa menjauh dari kloset selama satu jam berikutnya. Ia bahkan belum sempat mandi ketika Ben mengetuk pintu rumahnya.
Terlebih, tidak ada sarapan yang bisa ia berikan pada Ben karena perutnya kembali mual saat membuka simpanan ham-nya.
Sam terbahak. "Ya, aku tahu tentang itu. Istriku bahkan tidak pernah masuk dapur sampai usia kehamilannya sekarang tujuh bulan."
"Istrimu sedang hamil?"
Sam menatapnya dan mengangguk. Mata birunya berbinar dengan bahagia pertanda ia adalah seorang calon ayah yang berbangga.
Rasa sakit kembali menusuk dada Sue. Ia merindukan Zac dan berharap Zac akan sebahagia itu jika tahu tentang kehamilannya.
Satu hal yang tidak mungkin terjadi 'kan? Pria itu bahkan jijik memandangnya ketika Sue menyatakan perasaan. Mengetahui Sue hamil hanya akan membuat Zac murka.
Sue menggelengkan kepala untuk menghalau pikirannya tentang Zac.
Mengingat Zac hanya akan menimbulkan cengkeraman rasa sakit di jantungnya. Dua kali lebih sakit dari yang ia rasakan selama ini. Karena itulah, Sue selalu membuat dirinya sibuk hingga tidak terlalu banyak mengingat pria itu. Meskipun itu juga tidak terlalu berhasil.
"Kau pasti sangat bahagia."
"Sangat. Chloe sudah tiga kali keguguran sebelum akhirnya ia berhasil mempertahankan yang ini. Kami sudah menanti selama lebih dari lima tahun dan akhirnya malaikat kecil itu akan ada. Kami tidak ingin kehilangan lagi."
Tangan Sue refleks mengusap perutnya. Usia kehamilannya hanya berbeda satu bulan dengan Chloe. Sue berharap bayinya baik-baik saja di dalam perutnya. Ia tidak akan sanggup jika ia mengalami apa yang telah Sam dan Chloe alami.
"Aku akan mengundang Ben untuk makan malam di rumah akhir pekan ini. Aku harap kau bisa datang bersamanya."
Sue berhenti melangkah. "Sam, aku tidak bisa. Itu..."
"Chloe akan senang bertemu denganmu. Dia kesepian di rumah. Aku dan dokter melarangnya keluar dari rumah selama tujuh bulan ini. Dunianya hanya berpusat antara kamar tidur kami dan sofa di ruang keluarga. Dia merindukan seorang teman."
Memiliki seorang teman memang gagasan yang bagus, tetapi itu hanya akan membuatnya bahagia. Dan ia tidak ingin bahagia. Tidak setelah ia mengkhianati persahabatannya dengan Zoe. Tidak adil jika ia memiliki seorang teman baru di sini.
Sam menyeringai dan menepuk bahunya sebelum masuk ke ruangannya. "Ben akan bisa memaksamu berkata iya. Masuklah ke kelasmu, murid-muridmu sudah menunggu."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Dear Mr. Pilot - Spin Off REVERBERE (TAMAT)
RomanceCERITA SUDAH BISA DIBACA LENGKAP DI KARYAKARSA dan GOOGLE PLAYSTORE YAW ❤❤ *Mature Content 18+* Mengandung muatan dan unsur dewasa. Mohon bijak dalam memilih bacaan ya. --- Kehilangan seorang istri dan calon bayinya, membuat Zacharry Miller tidak in...