31. Hati Yang Bercabang

626 137 21
                                    

Jesse tidak bergabung dengan mereka saat makan malam, dan Adinda yakin itu adalah salah satu usaha pria itu untuk menghindari dirinya. Yah, itu tidak masalah baginya karena ia pun tidak ingin bertemu pria itu sekarang. Akan lebih baik begini. Jesse berpikir kedekatan mereka adalah kesalahan, dan setelah bicara dengan Chase tadi, Adinda bisa memandang pria itu dengan berbeda sekarang.

Chase tidaklah sekeras kelihatannya. Pria itu hanya seseorang yang sama seperti dirinya, dan dalam hal ini, Adinda merasakan kecocokan yang bahkan tidak ia rasakan dengan Jesse. Kecocokan emosional atas apa yang terjadi dalam hidup mereka, dan bagaimana mereka berdua berjuang untuk terlihat baik-baik saja menjalani hidup.

Percakapan itu membuka pikiran Adinda lebih luas lagi. Tentang bagaimana ia harus memandang sesuatu tidak hanya dari satu sudut pandang, melainkan juga dari banyak sudut yang lain. Tidak semua angka sembilan selalu didapatkan dari empat ditambah lima.

Setelah mereka bicara, Chase mengajarinya teknik berkuda yang tidak sempat Jesse ajarkan, dan sejujurnya, Adinda merasa jauh lebih nyaman dengan mendengar suara seseorang yang mengajarinya alih-alih hanya gerakan bahasa isyarat.

Ia suka mendengar cara Chase berteriak kepadanya saat dirasa Honey terlalu kencang membawanya berlari. Juga ketika pria itu berseru, "bagus, Adinda!" atau, "kau hebat, Adinda!"

Itu adalah sesuatu yang Adinda tahu tidak akan pernah didapatkannya dari Jesse.

Apakah hatinya kini telah bercabang? Ia tidak lagi merasa kesal atau marah setiap kali mengingat perlakuan kasar atau dingin Chase pada Jesse. Ia memaklumi sikap pria itu. Dalam hal ini, Chase tidak sepenuhnya salah. Jesse dan Chassidy telah berperan besar dalam membentuk trauma di diri Chase hingga menjadikannya seperti ini.

Kepribadian anak dibentuk dari seperti apa mereka dibesarkan. Mungkin, sama seperti dirinya yang pemalu, itu disebabkan karena ia jarang sekali dipuji oleh keluarganya. Juga karena terlalu sering diabaikan.

Adinda mendesah. Seharusnya dulu ia kuliah Psikologi dan bukannya hukum. Jauh lebih menyenangkan mengamati manusia dan melihat ke dalam jiwa mereka daripada menghapalkan isi kitab undang-undang hukum. Apa setelah ini, ia harus kuliah lagi? Itu akan memberinya banyak alasan untuk tetap tinggal jauh dari Jakarta.

"Apa yang kau pikirkan?"

Pertanyaan Chase yang disuarakan tepat di telinganya itu, membuat Adinda menjauhkan kepala sebelum menoleh. Ia tersenyum dengan gugup saat melihat bibir Chase melebar padanya, dan mata pria itu menatapnya intens.

Adinda kembali berpaling saat merasakan wajahnya merona. Ia meraih gelas minum dan meneguk isinya hingga hampir tandas.

Kenapa tatapan Chase memengaruhinya seperti ini? Sebelum ini, ia tidak akan pernah peduli seperti apapun cara pria itu memandangnya. Namun sekarang, kenapa Adinda bahkan merasakan jantungnya sedikit berdebar. Tidak mungkin hatinya bercabang untuk Jesse dan Chase kan?

"Adinda..."

Bahkan suara pria itupun terdengar jauh lebih lembut sekarang ini. Ia menatap sekeliling, dan melihat Clara tengah menatapnya tajam. Gadis itu pasti menyadari perubahan wajahnya. Jadi, ia kembali menatap Chase dan tersenyum.

"Tidak apa-apa. Aku hanya...agak lelah."

"Belajar berkuda memang melelahkan," ucap Pop dari seberang meja. "Aku dulu hampir-hampir tidak bisa berjalan saking lamanya duduk di atas kuda."

"Kau tidak bisa melakukannya karena terlalu bersemangat belajar dan terlalu memaksakan diri," sambung Gram disambut tawa membahana Pop.

"Jadi bagaimana kesan pertamamu belajar berkuda, Adinda? Apa Jesse guru yang baik?" tanya Pop kemudian.

Sorry, I Love Your Daddy! (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang