63. Keluarga Baru

506 145 23
                                    

Bandara Schipol tampak ramai ketika Adinda dan Jesse menginjakkan kaki mereka di tempat yang hiruk pikuk itu. Kesibukan khas dari terminal transportasi umum. Suara panggilan petugas, pengumuman keberangkatan dan kedatangan, juga pekik tawa dan tangis, bertumpang tindih di sana.

Adinda sering bepergian, tetapi tidak ada tempat yang terasa begitu membuat jantungnya berdebar seperti ini. Empat belas jam perjalanan bahkan tidak mampu membuatnya merasa rileks. Ia terus menerus merasa khawatir dengan kemungkinan penerimaan dari keluarga Janssen padanya.

Jesse yang merasakan kekhawatirannya, terus menggenggam tangannya atau memeluk bahunya untuk menenangkan. Namun, pelukan Jesse pun tidak terlalu membantu saat ini. Rasanya, Adinda tidak akan bisa merasa tenang sebelum bertemu dengan mereka dna benar-benar tahu reaksi yang diberikan padanya.

Perjalanan mereka dilanjutkan dengan kereta menuju ke Soesterberg, tempat keluarga ibunya tinggal seperti yang Papa tuliskan dalam pesannya. Adinda belum pernah pergi ke Belanda sebelumnya, tetapi pemandangan indah yang terhampar di hadapannya, tidak mampu membuat Adinda terpukau.

'Kau harus tidur. Waktu istirahatmu sedikit sekali sejak kita berangkat dari Indonesia,' Jesse menggerakkan tangannya setelah menepuk bahu Adinda untuk mendapat perhatian.

"Aku tidak lelah."

Jesse menatapnya dengan pandangan menegur. 'Kau kelelahan, tetapi memaksakan diri. Kau pikir dirimu ini robot?'

Adinda cemberut. Jesse tidak akan tahu bagaimana perasaannya sekarang. Bukan Jesse yang akan bertemu keluarganya sekarang. Bukan Jesse yang menjadi anak hasil perselingkuhan.

Namun, meskipun ingin menyemburkan kemarahannya pada pria itu, Adinda memilih untuk menutup mulutnya rapat-rapat dan memejamkan mata. Jesse tidak berhak menerima kemarahan dalam bentuk apapun darinya. Pria ini sudah melakukan banyak hal untuknya.

"Puas kau sekarang?" bentaknya sambil memejamkan maya seraya menempelkan kepala di sandaran kursi.

Ia merasakan Jesse meraih kepalanya untuk disandarkan di bahu pria itu, dan tanpa disuruh, Adinda menyamankan diri. Sekesal apapun, sentuhan tubuh Jesse akan selalu membuatnya tenang. Adinda bahkan merasakan dirinya menguap, dan beberapa saat kemudian, kedamaian menelannya.

Ketika membuka mata, kereta telah tiba di Soesterberg. Ia tersenyum pada Jesse saat bangkit dari duduknya untuk keluar dari kereta. Nyatanya, tidur selama satu jam terakhir membuatnya merasa jauh lebih baik.

"Terima kasih karena telah memaksaku tidur," ucap Adinda sambil menggamit lengan Jesse.

Berhubung sebelumnya Jesse tidak membawa koper dan hanya tas kecil berisi pakaiannya, kali ini Adinda menyatukan pakaian Jesse dalam kopernya sendiri. Ia hampir tidak bisa menahan senyumnya sepanjang memindahkan pakaian Jesse ke kopernya. Rasanya seperti mereka sudah menjadi suami istri.

"Menurutmu, kita langsung ke rumah mereka atau mencari hotel lebih dulu?" tanya Adinda lagi.

Karena rencana perjalanan yang sangat mendadak, Adinda tidak sempat mencari tahu lebih banyak tentang kota ini, juga untuk memesan hotel.

'Sepertinya lebih baik mencari hotel. Kita butuh mandi dan makan sebelum bertemu mereka. Lagipula...' Pria itu terdiam sejenak, dan Adinda mengangguk paham.

"Jika sikap mereka tidak bersahabat, ada hotel tempat kita beristirahat sebelum pulang ke Amerika."

Mereka berjalan keluar dari stasiun kereta dan menemukan banyak hotel berderet di sepanjang jalan. Adinda bersyukur ia tidak perlu berjalan jauh. Ia menunjuk satu penginapan kecil dengan papan nama sederhana di depannya. Bangunan itu tampak cukup tua daripada bangunan lainnya. Mungkin, tidak banyak orang yang memilih menginap di sana, dan Adinda ingin setidaknya bisa membantu pemasukan pemilik penginapan itu.

Sorry, I Love Your Daddy! (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang