38. Hati Yang Kembali Patah

698 169 11
                                    

Adinda mengerang saat ia membuka matanya, dan kepalanya terasa berdentam-dentam. Sesaat, ia hanya diam di tempat tidur agar pening di kepalanya itu mereda.

Ketika dirasa sudah lebih baik, ia berguling dan menatap langit-langit kamar yang asing. Keningnya berkerut. Ini bukan kamar Clara.

Lalu, ia mengedarkan pandang ke sekeliling kamar, dan merasa semakin asing dengan tempat itu.

Barang-barang di kamar itu sangat sedikit jika bisa dikatakan hampir tidak ada. Hanya ranjang yang ditempatinya ini, sebuah meja –yang sangat kosong- dengan kursi di depan jendela, dan satu buah lemari di sudut lain.

Kamar siapa ini? Atau lebih tepatnya, di mana dia berada?

Ini jelas bukan hotel mengingat atapnya yang dari kayu. Atau ini jenis hotel dengan sentuhan alam dan tradisional?

Adinda mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi hari ini, tetapi kemudian telinganya mendengar teriakan marah Chase dari luar kamar.

Ia bangun dengan cepat, dan kembali mengerang saat mendadak kepalanya terasa seperti dihantam palu. Brengsek! Apa yang sebenarnya terjadi padanya?

Sambil memegangi kepala dengan sebelah tangan, ia membuka pintu kamar. Ini juga bukan rumah Gram.

Tempat ini cukup kecil karena begitu membuka pintu, ia melihat pintu lain di depannya. Kamar mandi kalau dilihat dari bentuk pintunya. Kemudian, matanya menjelajahi sekeliling rumah mungil itu dengan cepat.

Dapur minimalis dengan kompor tunggal dan kulkas berpintu satu, counter yang juga berfungsi sebagai tempat makan dengan satu kursi tinggi, bersebelahan dengan wastafel mungil. Lalu, ada sofa tunggal di tengah-tengah ruangan dengan televisi layar datar terpasang di tembok.

Rumah ini jelas tempat tinggal seorang bujangan.

Setelah itu, mata Adinda menangkap sosok Chase yang berdiri di depan jendela. Postur tubuhnya begitu tegang sementara jemarinya mencengkeram daun jendela dengan sangat erat. Matanya menatap marah pada siapapun yang berada di luar rumahnya.

Pria itu menoleh saat mendengar panggilannya, bersiap untuk mendekat, tetapi Adinda mendahuluinya sebelum Chase sempat melangkah.

Ia berdiri di samping Chase, merasa sangat penasaran dengan apa yang ada di luar. Dan di sana, di depan pintu, berdiri seorang wanita pirang yang tengah tersedu-sedu, sementara lengan Jesse melingkari bahunya dengan protektif.

Lagi, perih itu menyebar ke dalam seluruh lapisan tulangnya, dan membuat kepala Adinda semakin berdentam-dentam. Ia mungkin akan jatuh pingsan jika saja Chase tidak menopang tubuhnya.

Matanya tidak meninggalkan Jesse yang juga tengah menatapnya sekarang. Mata biru itu melebar kaget, sementara bibirnya terbuka, tetapi tidak ada kata-kata yang keluar dari sana.

Selama beberapa menit, mereka hanya saling berpandangan. Adinda menunggu Jesse bicara, tetapi pria itu tidak mengatakan apapun selain hanya menatapnya.

"Jesse, ayo kita pergi," kata Chassidy dengan suara parau.

Mata Adinda dan Jesse berpaling bersamaan ke arah wanita itu. Sekarang, ketika Adinda bisa melihat wajah wanita itu, ia menyadari kemiripan yang memang terasa sangat nyata antara Chase dan Chassidy.

Jika saja garis rahang Chase tidak sangat maskulin, juga tubuhnya tidak sebesar ini, mereka berdua bisa terlihat seperti anak kembar berbeda warna mata.

Chassidy sangat cantik meskipun gurat kelelahan dan usia sudah terlihat di kening dan sudut matanya. Bisa ia bayangkan bagaimana luar biasa cantiknya wanita itu saat masih muda.

Sorry, I Love Your Daddy! (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang