"Ada apa ini? Kenapa kalian berpelukan seperti itu?"
Suara baritone Edwin yang terdengar dari balik pintuyang terbuka, membuat Adinda membuka mata dan Juliana melepaskan diri sambil menyeka air mata mereka masing-masing.
"Hanya sedang menceritakan beberapa hal," jawab Juliana sambil kembali dengan kesibukannya. "Kau sudah melihat-lihat peternakan kecil kami, Jesse?" tanyanya untuk mengalihkan pembicaraan.
Mata Jesse yang menatap Adinda, beralih pada Juliana sebelum pria itu mengangguk.
"Pasti tidak bisa dibandingkan dengan peternakanmu ya kan?"
Jesse tersenyum lalu menggerakkan tangannya. 'Di Lexington, kami berfokus pada pembiakan dan pelatihan kuda. Hewan ternak lebih untuk konsumsi pribadi kami. Sedangkan di sini kalian benar-benar memelihara hewan ternak untuk dimanfaatkan hasilnya dan dijual. Kau tidak bisa membandingkannya.'
"Dia bilang sapi-sapi kita jauh lebih gemuk daripada yang ada di peternakannya," ucap Edwin sambil duduk di samping Adinda. "Dia akan mengajak kita ke Lexington kapan-kapan."
"Kenapa kau bangun sepagi ini, Nak?" tanya Edwin kemudian.
"Aku biasa bangun pagi setelah berada di peternakan Jesse selama hampir satu bulan."
"Adinda bilang," Juliana menyambung, "dia membantu ibu Jesse untuk menyiapkan sarapan."
"Kau bisa memasak?" Edwin menaikkan alis saat bertanya.
Adinda mengangkat bahu. "Tidak terlalu hebat."
Jesse melangkah mendekat untuk menarik perhatian Edwin. 'Dia bohong. Masakannya sangat lezat.'
"Aku tidak akan heran kalau begitu. Marion kami juga hebat di dapur." Edwin tersenyum sambil menatapnya dengan haru.
Lagi, gumpalan besar itu terasa menyumbat tenggorokan Adinda. Ia begitu merindukan ibunya dan sangat ingin bertemu dengan wanita itu. Adinda ingin memeluknya sekali saja untuk mengucapkan terima kasih atas semua pengorbanan yang telah Marion lakukan untuknya. Juga untuk meminta maaf atas semua sikap dan kebohongan Papa. Marion tidak berhak mendapatkan kebohongan sebesar itu.
Ia ingin melihat ibunya tersenyum dengan senyum bahagia seperti yang pernah ia lihat di foto saat wanita itu mengandungnya. Adinda ingin menatap mata wanita itu saat ibunya berkata jika ia mencintai Adinda dengan begitu besar. Ia ingin, sekali saja dalam hidupnya, merasakan memiliki ibu yang benar-benar mencintainya.
Jesse meraih tubuh Adinda yang kembali limbung, dan mendudukkannya di kursi yang hendak ia tinggalkan. Pria itu menatapnya dengan cemas. Mungkin, wajah Adinda sudah sangat pucat sekarang.
'Kau baik-baik saja?' Jesse bertanya.
Adinda menatap kekasihnya itu dengan mata yang setengah kabur karena desakan air mata, sebelum mengangguk kecil.
"Aku merindukannya," bisik Adinda dengan suara penuh tangis.
Jesse memeluknya tanpa mengatakan apapun hingga membuat Adinda tidak bisa menahan air matanya lagi. Kerinduan itu kini terasa semakin membesar. Apalagi ia menyadari jika rumah ini adalah tempat di mana ibunya tumbuh besar, dan mungkin juga menghabiskan saat-saat terakhir dalam hidupnya.
"Dia pasti juga merindukanmu," kata Edwin memecah keheningan yang tercipta selain suara tangisan Adinda dan Juliana.
Jesse melepas pelukannya dan berdiri tegak, tetapi tetap meletakkan kedua tangannya di bahu Adinda seakan ingin memberikan kekuatan yang Adinda butuhkan.
"Marion selalu berkata jika ia tidak sabar melihat bagaimana cantiknya kau nanti dengan rambut gelapmu dan perpaduan wajah Asia-Eropa. Ia begitu mencintaimu hingga tidak pernah memikirkan sakit yang sedang dialaminya." Edwin meraih tangan Adinda di atas pangkuan dan meremasnya lembut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sorry, I Love Your Daddy! (TAMAT)
RomanceVERSI LENGKAPNYA SUDAH BISA DIBACA DI KARYAKARSA dan PLAYSTORE Seumur hidupnya, Adinda Abimanyu selalu menjadi yang terabaikan di keluarganya. Ia tidak pernah terlalu dipedulikan karena ia adalah anak kedua. Karena itulah ia memutuskan pergi untuk m...