52. Pulang

787 165 16
                                    

"Aku tidak yakin ini pilihan yang tepat," gumam Adinda untuk ke sekian kalinya dalam beberapa menit itu.

Koper terbuka di atas ranjangnya, setengah terisi oleh pakaian-pakaian, sementara pakaian yang lain terhampar di sekelilingnya seperti gunungan sampah yang siap dibakar. Dan seakan belum cukup sempit, Jesse berbaring telungkup di sisi lain tempat tidurnya.

Oke, pria itu jelas bukan onggokan sampah. Jesse tampak seperti dewa ketampanan di tengah semua kekacauan yang Adinda ciptakan, dan ia jauh lebih ingin bergabung dengan Jesse dalam kekacauan itu daripada melipat pakaian.

Pada akhirnya, setelah mengulur-ulur waktu, Adinda harus memesan tiket untuk pulang ke Jakarta dan bicara dengan orang tuanya. Chase meneleponnya hampir setiap hari, dan terus mendesaknya untuk pergi.

Sebelumnya, Adinda beralasan masih memiliki tanggung jawab mengajar bahasa isyarat di panti jompo, tetapi sekarang setelah makin banyak staff yang mahir bahasa isyarat, bahkan Allan!, Adinda tahu jika tenaganya tidak lagi dibutuhkan di sana.

Mrs. McKenzie berkata ia bisa tetap membantu di panti tersebut karena sukarelawan jelas sangat dibutuhkan di sana mengingat ketimpangan yang tampak nyata antara staff yang jumlahnya minim, dengan penghuni panti yang semakin banyak.

Melihat itu, Adinda merasa trenyuh. Bahkan memiliki banyak anak tidak menjamin para orang tua itu akan tetap bersama mereka. Beberapa anak mungkin memiliki alasan yang cukup masuk akal, seperti sibuk bekerja, sehingga memasukkan orang tua ke panti jompo.

Namun, tidak sedikit juga yang memasukkan orang tua mereka ke sana karena tidak ingin repot mengurusnya. Biasanya mereka cukup kaya dan mampu membayar berapapun demi 'kenyamanan' orang tua mereka.

Sayangnya, rata-rata dari para anak-anak itu, sangat jarang berkunjung setelah memasukkan orang tua mereka ke sana. Bahkan, dari yang Adinda dengar, ada seorang nenek yang belum pernah dikunjungi anaknya selama hampir enam tahun wanita itu menghuni panti tersebut.

Nyatanya, setiap keluarga memang memiliki masalah mereka sendiri. Bahkan keluarga yang terlihat sempurna dan bahagia di mata orang lain pun, pasti memiliki masalah. Dan tidak hanya anak, para orang tua pun juga banyak yang diabaikan. Apa memang sifat manusia selalu seperti itu? Tidak lagi peduli saat orang tersebut tidak memberikan keuntungan baginya?

Jesse duduk dan memandang kekacauan di sekitar tempat tidur, lalu melambaikan tangan, menyuruh Adinda mendekat padanya.

Tidak perlu diperintah dua kali, Adinda menyeberangi tempat tidurnya ke sisi Jesse berada, dan saat ia sampai di depan Jesse, pria itu langsung meraih pinggangnya, mendudukkan Adinda di pangkuannya.

Adinda selalu suka saat Jesse memeluk dan memangkunya seperti ini. Ia akan meringkuk nyaman dalam pelukan pria itu, dan bagian yang paling Adinda sukai adalah tentu saja saat ia bisa mendengar suara Jesse meskipun hanya berupa bisikan lirih.

"Kalau kita tidak menyelesaikan masa lalu, kita tidak akan pernah bisa melangkah maju," bisiknya di telinga Adinda.

"Bagaimana jika aku mendengar hal yang tidak ingin kudengar nantinya?"

Entah mengapa, Adinda merasa ada hal buruk yang akan terjadi. Terutama mengenai hubungannya dengan Jesse. Dalam hatinya, ia tahu Mama akan sulit menerima hubungannya dengan Jesse, bahkan sebelum Adinda mengenalkan mereka.

"Tidak semua hal memang sesuai dengan keinginan kita. Terkadang, harus ada yang tidak kita sukai untuk membuat kita berterima kasih dengan apa yang kita miliki."

Mata Adinda terasa panas, tetapi ia hanya memejamkan mata dan memeluk pinggang Jesse dengan lebih erat lagi.

Adinda tidak tahu, semenjak mereka menghabiskan banyak waktu di panti jompo, seakan ada yang berubah dalam diri mereka. Terutama Jesse. Pria itu jauh lebih tenang, damai, dan bahagia.

Sorry, I Love Your Daddy! (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang