~Apa yang kau harapkan dari manusia, di saat mereka semua begitu egois dan mementikan diri mereka sendiri?~.
*******
.
Malam hampir menyapa. Di bawah lembayung kelabu yang tampak muram, Naren tertatih meninggalkan pelataran pemakaman. Ia tidak mempedulikan bagaimana jalan berlubang yang becek dan berlumpur. Kaki-kakinya melangkah seperti orang linglung yang tersesat, persis seperti manusia hilang arah dengan tatapan mata kosong. Naren tampak memprihatinkan, seluruh tubuhnya kuyup oleh air hujan, rambutnya lepek, dan matanya merah sendu.
Tidak ada yang terlihat menyedihkan selain dirinya, hal itu sangat tampak dari sorot matanya yang layu. Sekali lihat pun, orang-orang akan menyadari jika dirinya tengah mengalami patah hati, atau duka mendalam yang menghancurkan jiwanya. Hanya saja pada saat seperti sekarang, orang-orang sepertinya lebih bersimpati pada sosok lain, pada seseorang yang berjalan ringkih dengan luka babak belur yang mulai membiru. Melviano berjalan di belakang Naren, mengekor seperti anak anjing yang baru saja kehilangan induknya. Ia tersesat dan mengikuti sosok asing saat di perjalanan.
Pukulan Naren cukup membekas kuat, memberikan rasa sakit yang luar biasa. Untuk ukuran anak SMA yang baru akan menginjak usia 17 tahun, kekuatan anak itu ternyata tidak bisa di remehkan. Seluruh wajah Melvin rasanya berdenyut nyeri dan rusuk kanannya begitu sakit seolah salah satunya telah patah.
Penampilan Melvin jelas terlihat mengerikan dan serta merta menarik perhatian, karena di banding luka hati, luka fisik lebih dapat orang-orang pahami. Kemeja putih yang ia kenakan penuh dengan lumpur, bahkan merubah warnanya menjadi kekuningan. Banyak juga bercak darah yang tercampur pada kain penutup tubuhnya itu.
"Kak Nana.." lirih seorang remaja tinggi dengan mata sipitnya saat Naren muncul di pintu utama. Rumah kediaman itu kontras membeku dalam waktu sekejap. Tatapan mata mereka semua tertuju pada dua sosok yang sejak lama mereka nanti.
Naren terdiam sesaat. Memandang papa dan remaja yang baru saja menyambut kedatangannya dengan mata membeliak lebar.
"Melvin!" Suara papa memekik begitu nyaring. Naren bahkan sampai merasa, gendang telinganya sakit. Pria baya itu tunggang langgang melewati tubuh Naren, menghampiri pemuda berusia 25 tahun yang penampilannya jauh lebih mengerikan.
"Kamu kenapa, Vin, kenapa bisa jadi kayak gini?" Tanya Arjun Wirawan.
"Luka kak Melvin harus secepetnya diobati, Pa." Sahut Arsa.
Suara-suara gaduh di belakang tubuh membuat Naren tersenyum kecut. Bertambah banyak kebencian yang kian menumpuk dalam dada. Sayangnya, selain kebenciannya pada orang-orang ini semakin besar, Naren juga merasa membenci dirinya sendiri. Ia menyadari bahwa ternyata harapan itu masih ada, dirinya masih saja kecewa saat papa lebih memilih mengkhawatirkan Melvin di banding dirinya.
"Kak Nana, tangan kak Nana berdarah." Suara Arsy mengalihkan perhatian Naren. Ia baru menyadari jika remaja itu masih saja berdiri di hadapannya dengan kekhawatiran yang begitu kentara.
Mendengar penuturan bungsu, Arjun Wirawan mendongak. Perhatiannya teralihkan pada tangan kanan Naren yang memerah. Ada bercak darah di sana, juga luka gores yang membuat pikirannya berkelana. Napas Arjun memburu begitu otak rasionalnya mengambil kesimpulan ekstrim. Ia bergegas mendekati Naren, lalu menarik tangan kanan anaknya itu untuk di lihat dari dekat.
"Apa ini, Nana?" Tanya Arjun dengan perasaan yang tidak bisa dijabarkan. Wajah babak beluk Melvin dan tangan membiru milik Naren, keduanya seolah memiliki benang merah penghubung yang membuat Arjun merasa di pukul benda tumpul tepat di ulu hati. "Nana!" Ia berakhir mendesak jawaban.

KAMU SEDANG MEMBACA
The 7th Of Us
Teen FictionDarah memang selalu lebih kental dari pada air, namun tidak menutup kemungkinan jika tidak semua persaudaraan memiliki cukup cinta dan kasih sayang. Narendra hanya memiliki kebencian untuk keluarganya, terutama kakak tertuanya yang bernama Melviano...