13

665 67 13
                                    


~Semakin penuh isi kepala, semakin terasa hampa dunia.~

...

Benarkah dunia terus berjalan?

Haksa terus mempertanyakan hal itu di dalam kepalanya yang sudah terlanjur penuh. Bahkan saking penuh isinya, ia merasa kosong. Dunia seolah berhenti dan Haksa berkelana dalam kehampaan yang tiada akhir. Sementara itu, ia tidak mempunyai pilihan lain, selain terus berjalan menyusuri kegelapan yang membuat seluruh dunianya buta.

Selayaknya manusia yang kehilangan arah, Haksa terkadang tidak memiliki tujuan yang pasti. Ia merasa kehidupannya hanya berputar di tempat yang sama, tanpa perubahan, tanpa kemajuan. Haksa sampai lupa apa keinginannya, seolah, ia telah kehilangan identitas yang selama ini dirinya yakini.

Lalu sebenarnya, bagaimana dunia tampak di luar dari sudut pandang isi kepalanya? Apakah sama menyesakkan, ataukah jauh lebih indah dari apa yang selalu Haksa bayangkan?

"Keluar!!"

Teriakkan keras yang berasal dari kamar sebelah, membuat Haksa tersentak. Jemarinya yang menggenggam teralis balkon, menguat seketika. Ia benar-benar terkejut mendengar suara Naren yang begitu menggelegar di tengah mendung pada sore hari ini.

"Gue bilang keluar, lo budeg, hah?!" Suara Naren kembali terdengar, bahkan kali ini dua kali lebih lantang dan dipenuhi amarah yang menggebu.

Haksa tidak berniat untuk melibatkan diri dalam masalah siapapun, namun mendengar keributan yang semakin menjadi-jadi, ia langkahkan kakinya untuk keluar kamar, sebelum pada akhirnya menyerobot masuk menuju kamar Naren di sebelah.

"Na..." Di hadapan Narendra yang di penuhi api kemarahan, Melviano tergeletak di lantai. Pemuda itu tampak menahan kesakitan, sembari meringis memeluk perutnya yang meninggalkan bekas luka.

"Bawa kado gak berguna itu dari hadapan gue sekarang juga, atau--"

"Sampai kapan, Na?" Potong Melvin membuat kalimat Naren terputus begitu saja, sementara Haksa tetap di sana memperhatikan keduanya beradu mulut.

Lelaki dengan kulit kecoklatan yang khas itu menjadi penonton setia, yang sewaktu-waktu mungkin di butuhkan untuk menjernihkan keadaan. Haksa tidak pernah berniat untuk menginterupsi atau pun melerai perkelahian yang ada. Dia datang hanya untuk memastikan keadaan Naren dan kondisi anak itu yang baik-baik saja.

"Sampai kapan kamu bakalan membenci hari ulang tahun kamu sendiri?" Lirih Melvin. Kali ini, tubuhnya bergerak perlahan dari lantai, kemudian berdiri menjulang di hadapan Naren. "Ini udah tahun ke 10, Na, kakak cuma berharap kamu bisa berdamai sama hari ini."

Suara tawa Naren menggelegar tepat setelah kalimat panjang Melvin terdengar. Tawa nyaring yang hanya terdengar pilu dan menyedihkan, menjadi suara satu-satunya yang terdengar mengisi kekosongan untuk waktu yang cukup lama.

Baik Melvin atau pun Haksa, keduanya sama-sama membisu memperhatikan Naren yang tengah kewalahan mengontrol emosinya yang membeludak. Tawanya perlahan berubah menjadi derai air mata yang tidak berkesudahan.

"Gue gak pernah tahu kalau lo orang yang gak tahu malu gini, Melvin." Bisik Naren setelah jauh lebih tenang. Ratapan matanya yang di penuhi air mata, memandang sosok Melvin dengan luka yang menganga. "Lo pikir, karena siapa gue jadi kayak gini, hm?" Suara yang serupa bisikan itu begitu lemah terdengar.

Melvin tampak bergetar di seluruh tubuh, ia membatu dengan pandangan kosong yang membuat Naren terkekeh sinis. Apa si brengsek Melvin itu baru menyadarinya? Atau dia pura-pura lupa dan menjadi manusia tidak tahu diri? Bahkan Naren merasa tidak akan memiliki muka untuk berkeliaran setelah melakukan dosa sebesar itu.

The 7th Of UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang