19

495 45 1
                                    

I'm back!!! 💚

.

~Janji adalah sesuatu yang cukup membebani, jadi jangan pernah mengumbarnya tanpa niat untuk di tepati.~

Sudah 10 tahun berlalu, tidak banyak yang berubah pada bangunan megah yang saat ini Rean tatap dengan ketabahan yang tersisa. Catnya masih berwarna putih-karena mungkin memang dicat dengan waran yang sama berulang kali-, halamannya masih luas, masih terdapat pohon belimbing besar yang dulu selalu dirinya dan sang adik panjat. Keadaannya benar-benar masih sama.

Hanya saja, yang berbeda adalah pintu rumah itu yang selalu tertutup rapat ketika dirinya datang. Dulu, mama memang sibuk bekerja mengurus hotel miliknya, namun demi anak-anak yang masih butuh banyak kasih sayang, entah bagaimana mama selalu ada untuk menyambut anak-anaknya pulang. Setiap jam sekolah usai, mama sudah pasti ada di rumah dengan berbagai hidangan hangat diatas meja.

Lalu yang membedakan dulu dan sekarang, ialah sunyi yang mencekam. Rumah besar itu terkesan dingin seolah tidak pernah tersentuh manusia manapun. Setiap perabotan mungkin tertata rapi dan bersih, tetapi tidak ada satu jejak manusia pun yang bisa ditemui di mana-mana.

Rean harus mendesah panjang untuk yang kesekian kalinya. Betapa ia merindu semua hal yang ada dirumah ini. Keramaian rumah, kehangatannya, juga cinta dan kasih sayang. Semua hal itu menghilang dari hidup Rean secara tiba-tiba, lalu bagaimana ia bisa mengikhlaskan dan berdamai dengan mudah seperti yang Jian katakan?

Bahkan saat ini ketika langkah kakinya menyusuri lantai, hanya bayangan menyakitkan yang tersisa diingatan Rean. Kemarahan mama, tangis Haksa dan Nana, juga pertengkaran yang memekakkan telinga. Seluruhnya berputar bagai kaset rusak yang membuat kepala Rean sakit bukan main.

Benar. Hanya ada luka sejak hari itu, sejak kedatangan anak selingkuhan sang papa yang dibawa ke rumah ini tanpa tahu malu. Bukankah sebagai anak, Rean pantas untuk merasa benci dan marah? Apalagi anak selingkuhan yang dibawa oleh papa tidak lain adalah orang yang begitu berarti di hidupnya?

Rean ingin mengerti, ia sudah berusaha untuk menerima, tetapi nyatanya, rasa sakit itu tidak mampu untuk dihilangkan hanya karena ia berusaha. Hanya ada kebencian yang semakin besar yang Rean rasakan.

"Kak Re..."

Mendengar suara asing menyebut namanya dengan nada yang gentar, Rean mendadak berhenti di tempat. Pikirannya yang tercecer segera terkumpul menjadi satu saat mendapati sosok 'asing' yang saat ini menatapnya dengan takut.

Mereka kemudian berakhir saling memandang dengan cukup lama. Rean dengan kemarahannya yang hampir meluap, sementara dia dengan ketakutannya yang semakin besar.

"Mas Re?" Kini, kedatangan Naren yang meramaikan sepi di rumah besar itu. Rean dengan segera mengalihkan perhatiannya pada kedatangan Naren yang tidak terdengar. Bagai hembusan angin yang lembut, sosok Naren meluluhkan ketegangan yang Rean rasakan.

"Aku baru aja mau susulin ke rumah sakit. Kata bang Ji, kondisi Haksa udah membaik ya, aku... Mas?" Naren berakhir membatu.

Rean tahu tindakannya yang tiba-tiba ini membuat sang adik terkejut bukan main. Anak itu bahkan sampai kehilangan kata ketika Rean memeluknya dengan erat.

Melihat Nana yang sudah tumbuh sebesar ini, melihat ia yang sehat tanpa kekurangan apapun, membuat Rean merasa sedih sekaligus senang. Ada banyak hal yang telah mereka lewati dengan kehidupan yang asing dan Rean merasa menyesali hal itu.

"Sebentar aja, Na, mas pengen peluk kamu sebentar aja.." Ujar Rean, wajahnya semakin dalam menyentuh pundak Naren yang masih kebingungan.

Rean tidak begitu peduli pada kebingungan yang Naren rasakan, ia hanya ingin mendekap tubuh besar Naren selama yang dirinya bisa. Meski tidak bisa mengganti waktu yang telah lalu, setidaknya Rean bisa merasakan penyesalannya sedikit terobati.

The 7th Of UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang