22

496 44 11
                                    

HI, I'M BACK!

Maaf, kayaknya bakalan banyak typo 🤧

.

~Kesalahpahaman itu rumit.~

.

"Arsy kenapa lama, ya?"

Di ruang tunggu yang hening, suara Arsa tiba-tiba berdengung, menarik seluruh perhatian orang-orang yang tengah sibuk berkelana memikirkan banyak hal.

"Mungkin sebentar, lagi." Sahut pria paruh baya yang baru saja tiba beberapa jam yang lalu.

Arsa hanya bisa mengangguk pelan. Suasana canggung menguasai dirinya sampai ia tidak merasa bisa bebas bergerak. Sejak kedatangannya bersama Arsy ke ruangan ini, keberadaan dua 'orang lain' di ruang rawat sang kakak membuat semuanya terasa tidak enak. Arsy sampai merasa salah tingkah dan memilih melarikan diri, sementara dirinya hanya bisa pasrah.

Terlebih, tidak ada yang bersuara sejak saat itu. Mereka--Kak Melvin, Bang Jian dan Om Arjun--hanya membisu dengan kesibukan masing-masing. Sebenarnya, hanya bang Jian yang terlihat sibuk di sana, membongkar rubik satu persatu sampai bagian-bagiannya tercecer di atas sofa.

Bang Jian memang tipe orang yang tidak suka ribet, dibanding menggunakan kepalanya untuk berpikir memecahkan teka-teki rubik tersebut, Bang Jian lebih suka menggunakan otot-ototnya yang terbentuk karena latihan ketat. Jadi, tidak heran jika tiba-tiba saja pemuda itu datang dan melakukan banyak hal untuk menyatukan seluruh keluarganya kembali, meski tanpa satu kata pun terucap.

Bagi Bang Jian, aksi lebih penting dari pada kalimat panjang lebar yang belum tentu memiliki hasil yang lebih baik. Arsa sendiri bisa memahami cara berpikir kakak angkatnya yang satu itu. Sebagian dalam dirinya ikut membenarkan. Memang terkadang, aksi lebih berguna dari pada ucapan.

"Kenapa liatin Abang sampai segitunya?"

Bang Jian memang terlihat paling cuek dibanding yang lain, tapi Arsa harus mengakui jika dia-lah yang paling peka. Perhatian bang Jian boleh saja hanya tertuju pada bagian-bagian rubik yang tercecer, tetapi ia dapat dengan mudah menyadari atensi Arsa yang terus terarah padanya.

Tertangkap basah seperti itu memang tidak pernah mengenakan, apapun kondisinya. Jadi dengan cepat, Arsa mengelak, "Enggak!"

"Heleh, Bocah." Jian terkekeh, tetapi fokusnya kembali terarah pada bagian-bagian rubik yang berserakan di sisi kosong sofa. "Kalau mau ngomong sesuatu, tinggal ngomong aja." Ujar Jian, meski lagi-lagi, perhatiannya hanya tercurah pada benda-benda persegi empat dihadapannya.

"Sok tahu!" Arsa mendengus.

Sementara dua orang lain yang tidak terlibat dalam percakapan itu hanya bisa tersenyum tipis sembari memperhatikan. Ada banyak hal yang telah terjadi, mereka tidak menyangka jika hari seperti akan tiba. Hari dimana satu persatu dari mereka mulai menerima satu sama lain, mulai terbiasa dengan keadaan yang tidak akan pernah sama lagi seperti dulu.

"Terus?" Jian melirik Arsa dengan ekor matanya yang memicing, hal baru yang menjadi kesenangannya akhir-akhir ini, menggoda Arsa habis-habisan. Reaksi anak itu sangat menggemaskan, sampai Jian tidak tahan untuk tidak melakukannya.

Mulut Arsa terbuka lebar, hendak menyahut dengan suara lumba-lumbanya yang terkadang menyakitkan untuk didengar. "Aku--"

"Assalamu'alaikum." Tetapi suara lain menginterupsinya.

Arsa dan yang lainnya kompak menoleh, menyaksikan kedatangan Arsy dengan seseorang yang membuat mereka sama-sama membatu. Orang itu tidak pernah terpikir oleh siapapun, akan berada di sana dengan suka rela, atau bahkan dengan kesadaran dirinya sendiri.

The 7th Of UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang