8

696 70 0
                                    


Bulan Desember di awali dengan hujan deras. Kilat menyambar-nyambar, awan gelap membumbung tinggi, sementara angin dengan hebat membuat kegaduhan. Pagi hari ini, bukan hanya kelabu, tapi kegelapan seolah menginvasi langit lebih lama dari yang seharusnya malam miliki. Hujan badai yang mengerikan.

Jian pernah melalui kondisi cuaca buruk puluhan kali, namun baru kali ini, ia merasa jauh lebih lapang. Hujan dan badai hanyalah fenomena alam biasa yang kerap terjadi. Tidak ada lagi kenangan pahit, tidak ada lagi kebencian dan duka. Jian telah berusaha ikhlas dan menerima keadaan saat ini dengan hati yang sudah jauh lebih tenang.

Semalam, Jian dan papa menghabiskan banyak waktu untuk berbincang setelah sekian lama. Banyak hal yang mulai menemukan titik terang, banyak cerita yang pada akhirnya menjadi sebuah maaf yang perlahan tumbuh di hati Jian.

Setelah terlalu lama tenggelam dalam kebencian, semalam, Jian baru menyadari satu hal penting. Dari kisah masa lalu yang ia dengar dari papa, Jian baru menyadari bahwa, Melvin tidak seharusnya menerima begitu banyak kebencian dari mereka--dari ia dan saudara-saudaranya. Sebab mau tidak mau, Jian harus mengakui bahwa, bukan hanya dirinya dan saudara-saudaranya saja yang terluka, namun anak itu juga.

Melvin adalah korban. Ia sama seperti Jian dan ketiga saudaranya yang lain, yang pada saat dulu atau pun sekarang, tidak pernah terlibat dalam keputusan apapun yang orang tua mereka ambil. Melvin hanya seorang anak yang terlahir dari rahim seorang wanita yang kurang beruntung, seorang kekasih yang tidak mendapat restu dari orang tua pasangannya.

Dunia memang seperti itu. Berbagai macam isi dan kondisi. Tidak bisa di sama ratakan, baik takdir, ataupun keadaan. Tidak semua manusia bisa mendapatkan apa yang mereka inginkan. Tidak semua hal bisa dimiliki hanya karena cinta dan kasih sayang. Terlebih, tidak ada yang namanya abadi. Semua hal memiliki awal dan akhir yang sudah ditetapkan.

Sama seperti ketika papa dan Tante Inayah jatuh cinta, lalu kemudian kehendak Tuhan memisahkan mereka dengan kedatangan Karin--mama Jian sendiri--sebegai wanita yang di jodohkan dengan papa. Cinta dan kasih sayang saja ternyata tidak cukup untuk membuat meraka tetap bersama. Sebab pada akhirnya, tante Inayah harus kalah di hadapan restu orang tua papa untuk Karin, yang tidak pernah dirinya dapatkan.

Dan setelah semua hal kejam yang Tante Inayah alami, wanita itu harus menanggung banyak kebencian atas apa yang tidak pernah ia maksudkan. Jian merasa menyesali semua hal buruk yang dirinya katakan untuk Tante Inayah. Namun untuk mengutuk dirinya sendiri pun, rasanya tidak berguna sama sekali. Semuanya sudah terlanjur berlalu. Tante Inayah tidak akan pernah ada untuk menerima maafnya.

Jian lelah. Semua hal yang terjadi membuatnya pusing tidak terkira. Namun, ia bisa apa? Tidak ada yang bisa Jian lakukan untuk mengusaikan semua kemelut hati dan kepalanya hanya karena ia menginginkan. Semua butuh proses. Dan dalam proses itu, Jian harus menghadapi kemarahan yang tumbuh dalam dirinya sendiri, juga saudaranya yang lain.

"Selamat pagi, Dok." Sapa Jian di persimpangan lorong menuju kamar Melvin. Hari ini ia tidak memiliki jadwal kuliah satu pun, hingga menyempatkan diri untuk menjenguk Melvin yang ia tinggalkan semalam setelah di perintahkan papa.

Sibuk memikirkan nasib keluarga, Jian sampai tidak menyadari jika ia telah sampai di depan ruang rawat Melvin. Dan di hadapannya, seorang dokter dan beberapa perawat baru saja melakukan kunjungan pagi.

"Selamat pagi, Mas Jian. Mau jenguk Mas Melvin, ya?" Tanya dokter muda yang cukup ramah sekali itu.

Jian jelas saja merasa hangat mendapat sambutan yang begitu lapang. Ia hanya mengenal dokter Alvian beberapa jam saja, namun pembawaan dokter muda itu membuatnya nyaman untuk bertegur sapa dengan santai. "Iya, Dok. Kebetulan saya lagi gak ada kelas."

The 7th Of UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang