I'm back!
.
~Bukankah itu adalah sifat alami manusia?~
.
Tidak ada manusia yang tidak serakah. Mendapatkan satu hal adalah loncatan lain untuk mencapai hal lainnya. Tidak pernah ada kata habis dan perasaan puas. Puncak adalah tujuan, tetapi entah berapa puncak yang harus didapatkan.
Melvin yang terlahir dari keluarga sederhana sempat tidak mengerti ambisius orang-orang seperti mereka. Ia tidak begitu paham, mengapa orang-orang sangat ingin berada di puncak dengan kedudukan paling tinggi. Sebab, kehidupannya dahulu sudah cukup untuk membuatnya merasa bahagia. Hanya dengan kebutuhan sehari-hari yang tercukupi dan keberadaan bunda serta kedua adiknya.
Akan tetapi, keluarga Wirawan tidak cukup hanya dengan hal itu. Kata sederhana seolah tidak cocok untuk bersanding dengan nama besarnya yang selalu diagung-agungkan. Sebagai Wirawan, Melvin dituntut untuk terus berkembang dan memiliki ambisi yang tidak terbatas.
Keluarga Wirawan sudah banyak mengubah hidup Melvin. Dari remaja sederhana menjadi pria ambisius yang tidak kenal rasa takut. Melvin bahkan tidak segan untuk melakukan hal-hal kejam hanya untuk memenuhi ambisinya yang begitu besar. Janji yang telah ia ucapkan seolah menjadi patokan bagaimana dirinya harus bertindak.
"Pak, ada laporan yang baru masuk dari lapangan." Seru Kimberly, sekretaris sekaligus asisten pribadinya.
Melvin masih berkutat dengan berkas-berkas yang menggunung, hanya bisa mendesah dan mendorong kertas-kertas itu sedikit menyingkir. Kepalanya hampir pecah. Tetapi masalah tidak ada hentinya datang satu demi satu.
"Apalagi?" Melvin melirik wanita berusia 24 tahun itu dengan kondisi yang memprihatinkan. Kantung matanya menghitam, sedangkan rambutnya berantakan.
Kimberly ikut mendesah. Tidak tega melihat atasannya berkerja keras seperti ini, padahal ia baru saja keluar dari rumah sakit tidak lebih dari dua hari. "Bapak kayaknya perlu istirahat sebentar, atau mau saya belikan makan siang?"
"Kamu bilang ada laporan dari lapangan, kenapa malah melenceng ke hal lain?" Tubuh Melvin menggeliat diatas kursi kerjanya yang besar. Meski tidak bisa dipungkiri, jika ucapan sekretarisnya itu tidaklah salah. Dirinya memang membutuhkan istirahat. Sejak kembali ke kantor, ia disibukkan dengan banyak pekerjaan sampai melupakan segala hal.
"Ayolah, Kak!" Geram Kimberly. Sebagai adik tingkat sang atasan di masa kuliah dulu, Kimberly terkadang lepas kendali. Ia geram menghadapi keras kepala laki-laki di hadapannya ini. Melvin selalu keras pada dirinya sendiri.
Melvin geleng-geleng kepala. "Ini masih di kantor, Kim!" Ia memperingati.
Akan tetapi Kimberly tampak tidak peduli sama sekali. Perempuan itu malah melenggang santai dan duduk di kursi yang berseberangan dengan meja kerja Melvin. Ditatapnya pemuda itu lamat-lamat. "Lo ini gila kerja atau emang udah bosen hidup sih, kak? Lo baru aja keluar rumah sakit kemarin, kalau lo lupa."
"Gue gak lupa." Balas Melvin. Pandangannya lurus menatap tepat pada mata biru Kimberly yang berkilauan. "Gue cuma mau beresin kerjaan yang kemarin keteter waktu gue di RS."
Kimberly tampak berdecak tidak habis pikir. "Lo gak kerja keras sekali doang juga gak bakalan bikin Wirawan group bangkrut, Kak. Lo masih bisa makan enak atau bahkan jalan-jalan ke luar negeri." Sengak Kimberly. Otak kecilnya benar-benar tidak pernah habis pikir menghadapi keras kepala atasannya itu.
Kekayaan Wirawan sudah cukup untuk menghidupi keluarga mereka sampai tujuh turunan. Jadi, untuk apa Melvin berkerja sekeras itu? Ditambah lagi, kondisinya tidak memungkinkan untuk bekerja berlebihan. Kimberly sudah tidak tahan membiarkan pemuda itu menyakiti dirinya sendiri terus-menerus.

KAMU SEDANG MEMBACA
The 7th Of Us
Teen FictionDarah memang selalu lebih kental dari pada air, namun tidak menutup kemungkinan jika tidak semua persaudaraan memiliki cukup cinta dan kasih sayang. Narendra hanya memiliki kebencian untuk keluarganya, terutama kakak tertuanya yang bernama Melviano...