30

531 53 2
                                    

I'M BACK!

...

~Dunia tidak selalu berjalan sesuai dengan keinginan manusia~

.



Jakarta masih sepadat biasanya. Lautan manusia tampak berbondong-bondong mengarungi setiap ruas jalanan, yang membuat seluruhnya penuh sesak. Tidak ada celah bagi kendaraan roda empat untuk melaju, kemacetan menjadi semakin parah ketika senja mulai menyapa.

Diantara lautan kendaraan itu, mobil Arjun menjadi salah satunya. Ramai terdengar berkecamuk dari luar, suara bising kendaraan dan klakson yang saling bersahutan. Petang adalah waktu dimana jalanan dalam kondisi paling kacau. Debu dan asap kendaraan menambah parah jejak kekacauan yang tertinggal.

Akan tetapi, diantara kekacauan yang terjadi di luar sana, didalam mobil yang sunyi, badai tengah mengobrak-abrik pikiran Arjun. Ia seolah tengah terjebak dalam sebuah labirin yang tidak memiliki akhir. Dirinya tersesat. Tidak ada jalan keluar yang dapat dirinya temukan dimana pun. Seluruhnya kacau.

"Pak, lebih baik Bapak memberitahu anak-anak." Ujar Kurniawan. Sepertinya ia menyerah pada keheningan yang membuat perasaannya tidak karuan.

Arjun tak bergeming. Pandangannya masih menatap lurus pada lautan kendaraan yang mengantri di depan mobil yang dirinya tumpangi. Ada hasrat dalam diri Arjun untuk melakukan apa yang Kurniawan katakan. Hanya saja, ia tidak memiliki cukup keberanian untuk merealisasikannya.

"Pak--"

"Ini diluar jam kantor, Wan. Kamu bisa ngomong santai sama saya." Sahut Arjun. Ia menggeliat, meregangkan otot-ototnya yang kaku sebab bersandar terlalu lama pada sandaran kursi mobil. "Lagipula, saya mengerti jika saat ini kamu ingin memarahi saya."

Kurniawan mendengus keras-keras. Jalanan masih cukup padat ketika dirinya memutuskan untuk merubuhkan batasan antar bos dan bawahan. Sebagai kenalan yang sudah cukup lama hidup berdampingan, Kurniawan merasa amarahnya sangat masuk di akal. Itu adalah bentuk kepedulian yang dirinya miliki pada sang atasan, sekaligus teman lamanya.

Raut wajah Kurniawan semakin memerah kala itu. "Mau sampai kapan kamu menyembunyikan masalah ini dari anak-anak?" Kurniawan bersuara, dan kendaraan mereka melaju beberapa meter setelah hampir satu jam menunggu.

Arjun melirik ke samping, pada jendela mobil yang menampakan kepadatan jalanan Jakarta yang terkadang memuakkan. "Sampai saya mati, mungkin."

"Kamu gila?!" Kurniawan berteriak marah. "Mereka berhak tahu bagaimana kondisimu, Arjun!"

"Dan membuat mereka semakin menderita?" Arjun menggelengkan kepala dengan lemah. "Saya tidak bisa melakukan itu, Wan. Tidak akan pernah bisa."

Anak-anak sudah banyak terluka karena kesalahan yang pernah Arjun perbuat di masa lalu. Mereka sudah menanggung banyak beban untuk tumbuh dan menjalani hidup. Bukankah tidak adil jika Arjun justru memberi mereka luka baru? Mereka sudah berusaha kuat dan Arjun tidak ingin merusaknya kembali.

"Tapi, kamu dengar sendiri apa kata Dokter Henry, Jun, hidupmu tidak akan lama lagi." Kurniawan mendesah frustasi. Penyakit ganas sudah lama menggerogoti tubuh temannya itu. Akan tetapi, Arjun seolah tidak peduli pada dirinya sendiri yang perlahan-lahan habis dimakan rasa sakit.

"Wan..." Dada Arjun sesak mendengar pernyataan itu. Ia kemudian sedikit menarik simpul dasinya hingga sedikit turun.

Pria baya yang tengah menyetir itu berdeham. "Hm?"

"Kamu tahu tidak, kenapa saya ingin Wirawan group berada di puncak?"

Kurniawan mengernyit penasaran. Jujur saja, selama ini, ia hanya mengecap Arjun Wirawan, si gila kerja sebagai manusia serakah yang tidak pernah cukup oleh satu pencapaian. Arjun dimata Kurniawan tidak pernah ada bedanya dengan orang-orang gila harta yang selalu menghalalkan segala cara untuk mendapat banyak hal.

The 7th Of UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang