Sebagai permintaan maaf, aku double up 😘.
~kemarahan terkadang membuat seseorang buta pada kenyatan dan fakta.~
....
"Mas..."
Kegelapan masih menyelimuti seluruh kota, ketika Jian datang dengan langkah lebar. Gemuruh petir terdengar saling bersahutan kala tubuh besar Jian limbung dihadapan Rean yang terduduk dikursi tunggu.
"Jian," Lirih Rean. Seluruh tenaganya menguap bersama penantian yang tidak ada habisnya.
Pukul 3 dini hari tadi, keadaan Haksa memburuk. Anak itu sempat sadarkan diri, namun dalam keadaan terbatuk-batuk hebat dengan disertai muntah darah. Setelah dilakukan pemeriksaan dengan keadaan genting, ternyata pendarahan kembali terjadi akibat jahitan yang kembali terbuka.
Rean jelas saja panik. Ia yang awalnya berniat mengabari keluarga ketika matahari sudah terbit, terpaksa mengingkari hal itu. Ketakutan yang tidak terkontrol membuatnya nekat mengabari orang rumah pada dini hari yang senyap.
Operasi tengah berjalan saat Rean memutuskan untuk menghubungi adik tertuanya itu. Rean sudah tidak sanggup menanggung ketakutan itu sendirian. Ia membutuhkan seseorang untuk menemaninya didalam keadaan emosi yang tidak terkontrol.
"Gimana keadaan Haksa, Mas?" Tanya Jian. Ia sedang menunggu Melvin di salah satu unit rawat inap rumah sakit ini, setelah anak itu kembali dilarikan ke rumah sakit akibat kenekatannya melarikan diri. Jadi, ketika Rean mengabari tentang kecelakaan yang menimpa Haksa, ia bisa dengan cepat bergerak dan sampai hanya dalam hitungan menit.
"Lagi operasi." Balas Rean dengan tatapan yang tidak fokus. Ia sibuk menatap kesana kemari guna menenangkan perasaan yang membuat seluruh tubuhnya bergetar.
Jian menyadari hal itu. Ia menyadari keanehan yang kakaknya rasakan, mas Rean pasti ketakutan menunggu disini sendirian. "Haksa pasti bakalan baik-baik aja, Mas, percaya sama gue." Tutur Jian.
Tidak ada yang mengetahui takdir, Jian tahu itu. Namun, dalam keadaan yang tidak memungkinkan ini, ia hanya ingin membuatnya menjadi lebih baik. Jian merasa tidak tega melihat ketidakberdayaan pada diri Rean. Sejak kepergian mama, sang kakak selalu menghindari hal-hal yang berbau rumah sakit. Bahkan ketika Naren dirawat beberapa hari setelah kepergian mama, Rean tidak pernah mengunjunginya.
Namun kini, Rean harus sendirian menanti kabar antara hidup dan mati dari adik salah satu adik mereka.
"Gue takut, Ji..." Rean bersuara lirih. "Gimana kalau tadi gue gak ada di lokasi? Gimana kalau sampai Haksa telat dapet penanganan?" Andai ia terlambat sebentar saja, bagaimana kiranya keadaan Haksa saat ini?
Bahkan ketika Haksa mendapat perawatan cepat dan tepat, anak itu masih menghadapi pesakitan yang luar biasa. Seluruh tubuhnya tergolek lemas diatas ranjang, mulutnya terus saja memuntahkan darah kental. Sang adik tampak tidak berdaya sampai-sampai Rean merasa tidak sanggup melihatnya lebih lama.
"It's oke, Mas, sekarang Haksa udah di dalem, dia udah dapat perawatan yang terbaik." Seumur hidup Jian, ia baru pertama kali melihat Rean seperti ini. Rean yang lemah, Rean yang tampak tidak berdaya. Padahal Rean selalu menjadi sosok paling kokoh yang bisa Jian andalkan. Kakaknya itu bagaikan sinar paling terang, yang mampu membimbing Jian dalam segala hal.
Melihatnya dalam keadaan emosi yang tidak terkendali, Jian benar-benar tidak tega. Rean tidak pernah terlihat sekacau ini dalam hidupnya.
"Sorry, Ji, gue gagal jadi kakak yang baik buat kalian." Demi memenuhi egonya yang begitu tinggi, Rean telah melupakan tugasnya sebagai seorang kakak. "Gue gagal lindungin lo sama adik-adik." Padahal ketika pertama kali badai menghancurkan 'rumah' mereka, Rean pernah berjanji untuk menjadi 'rumah' baru bagi adik-adiknya.

KAMU SEDANG MEMBACA
The 7th Of Us
Fiksi RemajaDarah memang selalu lebih kental dari pada air, namun tidak menutup kemungkinan jika tidak semua persaudaraan memiliki cukup cinta dan kasih sayang. Narendra hanya memiliki kebencian untuk keluarganya, terutama kakak tertuanya yang bernama Melviano...