.Awan gelap membumbung tinggi di langit Utara, sementara angin berhembus membawa mereka bergerak menyapu ke arah Selatan, dingin ikut serta bersamanya. Seluruh raga Naren mendadak menggigil saat berjalan menyusuri jalanan. Di setiap kakinya melangkah, Naren hanya bisa mengumpat dan mencaci. Kemarahannya masih terlalu besar, padahal sudah berjam-jam sejak ia meninggalkan rumah.
Sebab mood yang memburuk, Naren memilih untuk membolos. Rutinitas sekolah ia tinggalkan begitu saja, sementara dirinya mencari sebuah pelarian yang mungkin bisa membuat jiwanya tenang.
Setelah berjalan tanpa arah berkilo-kilo meter, kedua kaki itu berhenti melangkah. Raganya mematung, sedangkan jantung berdetak keras. Lagi-lagi alam bawah sadar membawanya ketempat ini. Sebuah tempat dimana seluruh raga tidak bernyawa di semayamkan dengan tenang.
Mama memang telah berpulang 2 tahun setelah kedatangan Melvin ke rumah, namun sampai detik ini, Naren belum bisa menerima keadaan. Ia masih tidak terima jika mama kesayangannya harus meninggalkan dirinya bersama dengan orang-orang jahat yang telah merampas banyak hal. Melvin memang bencana dan Naren tidak akan pernah melupakan fakta itu.
Gerimis mulai turun saat itu. Membasahi seluruh tubuh Naren yang masih membeku di depan pintu masuk pemakaman. Tidak terlihat sedikitpun jika ia terganggu dengan hal tersebut. Air hujan di biarkan mengalir, dingin di biarkan membuatnya menggigil. Naren seolah tuli dan bisu. Ia hanya memandang tempat peristirahatan terakhir banyak jiwa itu dengan nanar.
Dalam pikirannya yang semrawut, Naren memikirkan banyak sekali kemungkinan. Jika saja mama masih ada, akankah hidupnya berakhir menyedihkan seperti sekarang? Jika saja papa adalah sosok yang bisa di percaya, apakah kebencian akan tumbuh sebesar ini dalam dadanya?
Naren mendesah panjang. Berapa kali pun otaknya memikirkan hal itu, ia tidak pernah mendapat jawab. Semua andai yang ia pikirkan nyatanya hanya sebuah angan dari sisa dirinya yang mengharapkan kasih sayang.
Semua ini tidak ada gunanya. Lelah yang ia tanggung, kebencian yang memberatkan hati, kepala yang di penuhi banyak sekali benang kusut. Semuanya hanya bisa membuat jiwa Naren kepayahan. Naren lagi-lagi tidak bisa berkutik di hadapan takdir yang telah Tuhan gariskan untuknya dengan semena-mena.
Dengan kemarahan yang masih saja mempengaruhi nalar dan akal sehatnya, Naren memutuskan untuk beranjak. Guyuran hujan sudah tidak sederas sebelumnya, sekarang ia hanya tetesan-tetesan kecil yang tersisa dari badai singkat. Dan di bawah langit kelabu itu, Naren tertatih mengais sisa harapannya untuk bertahan hidup.
Langkahnya mungkin saja lemah dan tidak berdaya, namun ketika kakinya menapaki halaman rumah yang basah, seluruh tubuh Naren sontak membeku. Mata almond-nya melebar sempurna melihat sosok asing tergeletak tak jauh dari tempatnya berdiri. Dengan langkah yang gemetar hebat, Naren pun perlahan mendekat. Ia tercekat saat inderanya melihat sosok familiar yang sejak tadi membuat isi kepalanya berantakan.
"Melvin." Naren berbisik pelan. Seluruh tenaganya tersedot habis oleh sapuan angin yang tiba-tiba begitu kencang menghantam tubuhnya.
Di halaman yang mulai temaram itu, Naren terpengkur cukup lama. Ia pandangi tubuh Melvin yang tidak berdaya di hadapan. Sebelum merengkuh tubuh itu dengan langkah kaki yang begitu cepat.
"Vin, lo kenapa?" Bisik Naren. Suaranya bergetar hebat saat melihat penampilan Melvin yang jauh dari kata baik-baik saja. Wajah anak itu di penuhi memar, di sudut bibirnya masih meninggalkan darah segar yang terbasuh oleh air, sementara yang paling parah, genangan merah pekat mengalir di samping pinggangnya.
Retina Naren kembali melebar, apalagi saat melihat sebuah sobekan pada kemeja yang Melvin kenakan. Tangan Naren pun terangkat, gemetar seluruh jemarinya saat menyingkap kain itu. Begitu pula ketika sebuah luka yang cukup dalam terlihat setelahnya, Naren benar-benar kehabisan daya untuk bisa berpikir.

KAMU SEDANG MEMBACA
The 7th Of Us
Dla nastolatkówDarah memang selalu lebih kental dari pada air, namun tidak menutup kemungkinan jika tidak semua persaudaraan memiliki cukup cinta dan kasih sayang. Narendra hanya memiliki kebencian untuk keluarganya, terutama kakak tertuanya yang bernama Melviano...